Equivocation Pamflet Peringatan G 30 S/PKI vs G 30 S : Tanda Opini Publik Masih Dikontrol Oligarkhi Media Massa |
Penulis : Maulana Alif Rasyidi
Email : maulanaalif.rasyidi22@gmail.com
Haul peringatan Gerakan 30 September (G 30 S) rutin diwarnai dengan banyak unggahan peringatan duka di Indonesia oleh berbagai kalangan, tidak terkecuali Gen Z sebagai generasi pengguna media sosial dengan intensitas tinggi dibanding generasi sebelumnya (Elkatmış, 2024, hlm. 7). Unggahan itu didominasi oleh mayoritas Gen Z dengan narasi “Memperingati G 30 S/PKI”, yaitu suatu unggahan pamflet yang cenderung melestarikan spekulasi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang tunggal yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Padahal dalam berbagai literatur berbeda-beda, setidaknya ada 7 (tujuh) versi sejarah yang merekam peristiwa G 30 S. Unggahan pamflet yang berspekulasi bahwa PKI menjadi satu-satunya dalang tunggal sesungguhnya merupakan efek dominasi propaganda media oleh Pemerintah Orde Baru (Roosa, 2008, hlm. 9) baik melalui arsip maupun produk kebijakan seperti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 153 Tahun 1967 tentang Penetapan Tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila dan TAP MPRS/XXV/Tahun 1966. Lalu kemudian di era reformasi, sejumlah intelektual mengusulkan agar spekulasi tadi dikaji ulang karena banyak dokumen penting yang tidak terpublikasi dan berakibat distorsi sejarah (Asvi Warman Adam, 2004b, hlm. 58–70). Berbicara soal unggahan pamflet, kondisi perbedaan versi sejarah yang masih menjadi perdebatan intelektual inilah semestinya juga dipahami oleh Gen Z agar tidak melanggengkan spekulasi yang belum mutlak kebenarannya, tentu hal tersebut tidak lepas dari bagaimana oligarkhi media mempengaruhi opini Gen Z yang mengalami equivocation, yakni pemahaman bahwa tidak ada bedanya antara G 30 S dan G 30 S/PKI.
Equivocation G 30 S yang diintervensi oligarkhi media ialah sebab utama keragaman suara dan versi dibatasi menjadi satu ragam suara tunggal. Robert W. McChesney menyebut bahwa oligarkhi media yang membatasi keberagaman suara merupakan ancaman demokrasi karena keuntungan komersiil lebih diprioritaskan dibanding kepentingan publik (Robert W. McChesney, 1999, hlm. 19). Lalu, Schiller memilih makna “konsolidasi kekuasaan” yang dimungkinkan oleh perkembangan teknologi informasi dalam mendefinisikan oligarkhi media (Schiller, 1999, hlm. 73). Berbeda dengan Schiller, Alexis de Tocqueville yang hidup di abad ke-18 memilih kata kunci “kontrol informasi” untuk menggambarkan perilaku konsentrasi kekuasaan dalam demokrasi yang dilakukan oleh para oligarkh media (Tocqueville, 1835, hlm. 102). Ketiga definisi tersebut dapat dipetik pengertian betapa kepentingan publik untuk mengilhami kebenaran objektif informasi sejarah G 30 S yang debatable sangatlah dipengaruhi oleh kontrol informasi dan media yang dikendalikan oleh pemilik kuasa media baik kekuasaan korporasi multinasional maupun aktor pemerintahan. Hal ini terbukti dengan adanya pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang ditayangkan wajib setiap 30 September di era Pemerintahan Soeharto (Bourchier & Hadiz, 2018, hlm. 5–7) dan pemerintah menekan tiap upaya dan potensi munculnya narasi tandingan atau wacana alternatif terkait peristiwa G 30 S (Cribb, 1990, hlm. 35–45).
Berbagai catatan versi dan perspektif peristiwa G 30 S sangat penting untuk dikaji dan direfleksikan oleh Gen Z sebagai pengetahuan betapa oligarkhi media membahayakan demokrasi dan memanipulasi suara yang murni dari sipil atau grassroot.Pertama, versi resmi Orde Baru yang menyatakan PKI sebagai dalang pendirian negara komunis melalui kudeta terhadap Presiden Soekarno; Kedua, Versi Kudeta Internal Militer, yaitu G 30 S sesungguhnya kudeta internal militer yang dilakukan Soeharto dan para perwira Angkatan Darat (AD) untuk menggulingkan perwira senior yang setia pada Bung Karno. John Roosa mengatakan bahwa peristiwa ini bukanlah PKI sebagai dalang tunggal melainkan ada keterlibatan faksi-faksi militer (Roosa, 2006, hlm. 45–50) ; Ketiga, Gerakan Anti-Soekarno, versi ini melihat bahwa dalam skenario G30 S, ada keterlibatan kelompok-kelompok Pro-Barat dan kelompok anti-Soekarno dalam negeri termasuk militer yang merasa tidak aman akibat kebijakan-kebijakan Bung Karno yang mesra bersama Blok Timur seperti Uni Soviet dan Tiongkok, akhirnya G 30 S dijadikan alas an untuk menggulingkan Presiden Soekarno (Anderson, 1966, hlm. 12–20); Keempat, Konspirasi CIA, menurut versi ini bahwa peristiwa G30 S ialah operasi rahasia yang didorong Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat yang ingin mengkudeta Soekarno karena terlalu dekat dengan Blok Komunis. Keterlibatan CIA ini pernah dibahas oleh mantan diplomat Kanada dalam artikel Pacific Affairs (Peter Dale Scott, 1985, hlm. 239–265); Kelima, Versi Otoritas Soeharto, menurut versi ini bahwa posisi Soeharto yang merupakan Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) sengaja memanfaatkan dan memperluas skala ancaman untuk merebut kekuasaan (Wertheim, 1974, hlm. 180–185); Keenam, Versi Nasionalis-Radikal, yaitu PKI bukanlah dalang utama melainkan G 30 S merupakan usaha kelompok nasionalis-radikal yang kecewa terhadap Bung Karno dan berhasrat untuk mempercepat revolusi. Dalam versi ini, PKI tidak sedang mengambil alih kekuasaan tetapi mereka adalah korban dari kekacauan situasi yang tidak dapat dikendalikan (Rex Mortimer, 1974);Ketujuh, Versi Double-Cross Aidit, menurut versi ini ada spekulasi D.N. Aidit terlibat namun tidak bermaksud melakukan kudeta. Sejumlah pandangan melihat bahwa Aidit ditipu oleh unsur-unsur militer yang menginisiasi kudeta, namun selanjutnya Aidit dijadikan sebagai kambing hitam atas peristiwa G 30 S (Asvi Warman Adam, 2004). Ketujuh versi periwayatan peristiwa G 30 S tersebut kemudian dibatasi dengan satu versi sebagai kebenaran tunggal melalui perantara dan legitimasi kuasa media.
Ilustrasi oligarkhi media dalam konteks peristiwa G 30 S dapat ditandai dengan sekurang-kurangnya 3 hal , yaitu : 1) Homogenisasi konten dan kurangnya suara alternatif (McQuail & Deuze, 2020, hlm. 172–175), dalam hal ini lenyapnya keanekaragaman perspektif publik tentang G 30 S dan dikerucutkan menjadi satu informasi perspektif mutlak pada versi Pemerintah Orde Baru. Wendy Cukier dalam Canadian Journal of Communication menjelaskan bahwa ketika ruang publik media sudah didominasi pandangan kelompok elit, maka kondisi ini mengancam pluralitas demokrasi (Cukier, 2004, hlm. 20).; 2) Manipulasi Opini Publik, yang berarti pengaruh oligarkhi media terhadap opini dan persepsi publik.(Ben H. Bagdikian, 1983, hlm. 120–125)Dalam konteks pemberitaan G 30 S, dapat diilhami dengan bagaimana para oligarkh media menentukan agenda-setting (apa yang dianggap penting) berikut dengan cara pemberitannya (framing). Serupa dengan Bagdikian, Chomsky juga mengemukakan bagaimana opini publik terhadap suatu hal terdistorsi sesuai kehendak para pemilik kepentingan (Herman & Chomsky, 1988, hlm. 298).; 3) Kejatuhan Kualitas Jurnalistik, kondisi ini disebabkan oleh prioritas media untuk memberitakan informasi dan konten yang menguntungkan secara komersiil daripada laporan investigatif (Couldry, 2010, hlm. 60–65). Dalam konteks G 30 S, banyak media-media yang ditekan oleh kekuasaan agar tidak memunculkan narasi alternatif sehingga hanyalah jurnalis yang satu jalan berpihak pada kehendak penguasa yang memperoleh keuntungan, minimal keuntungan berupa keamanan dari pembredelan pers.
Aktor oligarkhi media pasca-reformasi terus berkembang seiring akumulasi kekuatan politik yang dibangun oleh para elit, praktis dari pernyataan ini adalah bagaimana buzzer dan para pemilik siaran stasiun televisi swasta dikendalikan oleh koalisi besar di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, belum lagi substansi UU ITE yang dinilai membatasi kebebasan pers oleh stakeholder jurnalis terkait. Aktor oligarkhi media setidaknya dapat dipetakan menjadi 5 pihak, yakni Masyarakat sebagai Konsumen, Jurnalis dan Tenaga Media, Para Pemilik Media, Korporat Multi-Nasional, dan Pemerintah/Penguasa Politik. Masyarakat sebagai konsumen informasi sering tidak menyadari bahwa sajian informasi yang mereka terima sesungguhnya telah disesuaikan dengan kepentingan elit (Herman & Chomsky, 1988, hlm. 25–30). Lalu para tenaga media dan jurnalis yang harus menghadapi ragam pembatasan dalam kebebasan editorial, bahkan mereka dipaksa untuk mengikuti narasi yang dikehendaki oleh manajemen (Robert W. McChesney, 1999, hlm. 60). Kemudian para pemilik media dalam arti oligarkhi media ialah mereka yang memperalat media guna mempertahankan pengaruh politik dan ekonomi (Herman & Chomsky, 1988, hlm. 10–15). Setelah pemilik media, ada pengaruh yang datang dari korporasi multinasional yang menyebabkan para pemilik media cenderung akan ‘tunduk’ melalui cara filterisasi berita merugikan terhadap pengiklan besar dari kalangan korporat (Ben H. Bagdikian, 2004, hlm. 30–33). Akhirnya pada tingkatan terakhir yaitu penguasa politik dan pemerintah, dimana mereka kerap memberi akses kemudahan kepada media yang mendukung kebijakannya lalu menekan media yang berseberangan (Robert W. McChesney, 1999, hlm. 60). Kelima aktor tersebut masing-masing memiliki peran untuk mengontrol opini publik secara sistemik, termasuk distorsi sejarah peristiwa G 30 S. Selanjutnya distorsi sejarah peristiwa G 30 S terbukti mengakibatkan ratusan ribu nyawa rakyat hilang tanpa proses peradilan yang sah dan pewarisan dosa di era reformasi yang berujung diskriminasi terhadap sejumlah etnis, maka sungguh ironis tatkala publik hari ini masih melestarikan distorsi sejarah yang masih debatable tadi, terlebih Gen Z yang masih mengalami equivocationterhadap konsekuensi pencantuman antara G 30 S dan G 30 S/PKI.
Disinilah urgensi masyarakat sebagai bagian civil society tidak mudah menyerap informasi yang sudah dilakukan agenda-setting oleh para aktor oligarkhi media dan perlunya dorongan kuat untuk mengimbangi informasi elit dengan suatu informasi yang menyoal kepentingan publik yang populis. Sebab, hanya informasi media massa yang populis yang murni mengabarkan realitas nyata akar rumput (grassroot) yang akan sanggup menstimulus kesadaran kolektif dan perubahan secara independen. Tentu konsekuensi atas informasi independen akan mendorong kualitas demokrasi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. (1966). The Cornell Paper.
Asvi Warman Adam. (2004). G30S/PKI: Fakta atau Rekayasa. Ombak.
Asvi Warman Adam. (2004). Pelurusan Sejarah Indonesia. Ombak.
Ben H. Bagdikian. (1983). The Media Monopoly. Beacon Press.
Ben H. Bagdikian. (2004). The Media Monopoly. Beacon Press.
Bourchier, D., & Hadiz, V. (2018). Indonesian Politics and Society: A Reader. Routledge.
Couldry, N. (2010). Why Voice Matters Culture and Politics After Neoliberalism. London School of Economics,.
Cribb, R. (1990). The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali. Centre of Southeast Asian Studies.
Cukier, W. (2004). Breaking the Barrier: Women in Canadian Media and the Limits of Public Broadcasting. Canadian Journal of Communication, 29(2).
Elkatmış, M. (2024). Examination ff Social Media Usage Habits of Generation Z. Frontiers in Psychology, 15, 1370823. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2024.1370823
Herman, E. S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing Consent, The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books.
McQuail, D., & Deuze, M. (2020). McQuail’s Media and Mass Communication Theory. SAGE.
Peter Dale Scott. (1985). Pacific Affair. 58(2).
Rex Mortimer. (1974). Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 1959–1965. Equinox.
Robert W. McChesney. (1999). Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. University of Illinois Press.
Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. University of Wisconsin Press.
Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Schiller, D. (1999). Digital Capitalism: Networking the Global Market System. MIT Press.
Tocqueville, A. de. (1835). Democracy in America. Harper & Brothers. Saunders and Otley.
Wertheim, W. F. (1974). Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change. Nijhoff.
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama Maulana Alif Rasyidi , lulusan S-1- Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jember. Penulis lahir di Jember pada tanggal 12 Januari 2001, namun kini berdomisili di Kabupaten Sumenep bersama 2 saudara dan kedua orangtua. Penulis aktif berorganisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Hukum Universitas Jember Cabang Jember pada 2019-2024 yang juga memiliki perhatian terhadap isu hukum dan HAM. Penulis pernah mewakili Unit Kegiatan Mahasiswa Keagamaan Studi Islam Berkala (UKM KI SIB FH UNEJ) dalam “Diskusi Terbuka PSG UNEJ: Kawal Implementasi Permendikbud 30/2021 Bersama Mahasiswa” untuk menekankan urgensi sinergitas Organisasi Mahasiswa (Ormawa) Keagamaan untuk mendukung penghapusan kekerasan seksual di kampus dan menepis isu legalisasi zina oleh oknum kelompok keagamaan yang menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Pendidikan Tinggi.