Dua Benua, Dua Pendekatan: Pelajaran dari Sistem Pendidikan Aljazair dan Indonesia |
Penulis : Intan Rehana
Mahasiswi : Universitas Darunnjah
E-mail : intanrehana@gontor.ac.id
Indoaktual, Yogyakarta, Pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa, dan setiap negara memiliki pendekatan unik untuk membangun sistem pendidikan yang mencerminkan sejarah, budaya, dan kebutuhan masyarakatnya. Aljazair dan Indonesia, meskipun terpisah oleh benua dan lautan, memiliki banyak kesamaan sebagai negara berkembang yang menghadapi tantangan pendidikan. Namun, perbedaan kontekstual dan kebijakan memberikan pelajaran penting tentang bagaimana sistem pendidikan dirancang untuk mendukung kemajuan bangsa.
Sebagai bekas jajahan Prancis, sistem pendidikan Aljazair dipengaruhi oleh struktur kolonial yang menekankan pengajaran dalam bahasa Prancis. Setelah kemerdekaan pada tahun 1962, Aljazair melakukan reformasi besar-besaran dengan mengganti bahasa pengantar menjadi bahasa Arab, sementara bahasa Prancis tetap diajarkan sebagai bahasa asing. Sebaliknya, Indonesia, setelah merdeka dari penjajahan Belanda pada tahun 1945, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional untuk menyatukan keragaman etnis dan bahasa di seluruh nusantara. Sistem pendidikan di Indonesia juga mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dalam kurikulumnya untuk membangun identitas nasional. Dari sejarahnya, kedua negara menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya menjadi alat pembelajaran, tetapi juga strategi membangun kedaulatan budaya dan identitas bangsa.
Dari segi akses pendidikan, Aljazair menawarkan pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga universitas, yang dibiayai sepenuhnya oleh negara. Ini memungkinkan sebagian besar anak-anak mengakses pendidikan formal, meskipun tantangan infrastruktur tetap menjadi hambatan, terutama di daerah pedesaan. Indonesia juga menyediakan program pendidikan gratis melalui wajib belajar 12 tahun. Namun, kualitas pendidikan di daerah terpencil seringkali tertinggal dibandingkan dengan perkotaan akibat kurangnya fasilitas, guru berkualitas, dan akses teknologi. Aljazair telah menunjukkan kemajuan dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan melalui subsidi penuh, sementara Indonesia masih perlu memperkuat pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayahnya.
Dalam hal kurikulum, Aljazair menekankan pelajaran agama, khususnya Islam, sebagai bagian integral dari pendidikan. Ini mencerminkan karakter negara yang mayoritas Muslim sekaligus menjaga identitas keagamaannya. Indonesia juga menjadikan pendidikan agama sebagai bagian kurikulum, tetapi pendekatannya lebih inklusif terhadap berbagai agama yang dianut masyarakat. Selain itu, kurikulum di Indonesia terus direformasi untuk menghadapi tantangan global, seperti penerapan Kurikulum Merdeka yang fokus pada pembelajaran berbasis proyek dan pengembangan keterampilan abad ke-21. Namun, kebijakan pendidikan di kedua negara sering dipengaruhi oleh dinamika politik, yang terkadang mengganggu kontinuitas dan efektivitas sistem pendidikan.
Guru memainkan peran penting dalam keberhasilan pendidikan, namun tantangan besar tetap ada di kedua negara. Di Aljazair, meskipun jumlah guru mencukupi, pelatihan berkelanjutan dan insentif yang kurang memadai berdampak pada motivasi dan kualitas pengajaran. Di Indonesia, masalah serupa terjadi, dengan ketimpangan antara guru di daerah perkotaan dan terpencil, serta rendahnya kesejahteraan guru honorer. Meski begitu, program seperti Guru Penggerak dan pelatihan untuk guru mulai memberikan dampak positif dalam meningkatkan profesionalisme tenaga pengajar di Indonesia. Aljazair dan Indonesia sama-sama perlu terus berinvestasi dalam pelatihan guru untuk memastikan mereka mampu mendidik generasi muda di era globalisasi.
Pendidikan tinggi di kedua negara juga menghadapi tantangan globalisasi. Aljazair memiliki universitas-universitas terkemuka, tetapi lulusannya sering kali menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan karena kesenjangan antara kurikulum akademik dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Indonesia juga berjuang meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, khususnya untuk meningkatkan peringkat internasional universitasnya dan memperkuat literasi digital serta riset inovatif. Kedua negara perlu menyesuaikan pendidikan tinggi mereka dengan kebutuhan pasar kerja guna mengurangi pengangguran lulusan.
Dari perbandingan ini, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, pemerataan akses pendidikan harus menjadi prioritas utama. Aljazair telah membuktikan bahwa pendidikan gratis dapat meningkatkan angka partisipasi, namun Indonesia perlu memastikan kualitas pendidikan yang merata di semua daerah. Kedua, keberlanjutan kebijakan pendidikan sangat penting untuk menjaga konsistensi dan efektivitas sistem. Ketiga, penguatan peran guru melalui pelatihan berkelanjutan dan insentif yang layak harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Terakhir, kurikulum pendidikan tinggi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja untuk meningkatkan peluang kerja lulusan.
Pada akhirnya, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, Aljazair dan Indonesia menghadapi tantangan serupa dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Kedua negara dapat saling belajar dari pengalaman masing-masing untuk memperbaiki kelemahan dan memperkuat keunggulan mereka. Pendidikan bukan hanya tentang mencetak individu cerdas, tetapi juga membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan kompetitif di kancah global.