Rencana Kenaikan PPN Jadi 12%: Dampak Ekonomi dan Reaksi Publik |
Penulis : Alfia Nur Khalifah
Indoaktual, Yogyakarta, Pemerintah tengah mempertimbangkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 26 November 2024 di Jakarta. Rencana ini bertujuan untuk memperkuat pendapatan negara di tengah tantangan ekonomi global. Namun, langkah tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Sri Mulyani menyatakan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari reformasi perpajakan jangka panjang yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). "Kenaikan PPN menjadi 12% bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, sekaligus mendukung belanja pemerintah di sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur," ungkapnya dalam konferensi pers.
Penerapan PPN 12% rencananya akan dimulai pada awal 2025. Pemerintah beralasan bahwa langkah ini sesuai dengan standar internasional, di mana rata-rata tarif PPN negara lain berkisar antara 10–15%. Selain itu, pendapatan tambahan dari kenaikan PPN diharapkan dapat menambal defisit anggaran yang meningkat akibat berbagai subsidi dan program pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Namun, reaksi publik beragam. Kelompok pengusaha, melalui Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), menyatakan kekhawatiran bahwa kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat. "Kenaikan PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa. Jika daya beli turun, perekonomian kita justru akan melambat," ujar Ketua KADIN, Arsjad Rasjid.
Di sisi lain, masyarakat menengah ke bawah merasa kebijakan ini kurang berpihak pada mereka. Beberapa kelompok aktivis bahkan menyebut kenaikan PPN sebagai kebijakan regresif yang membebani rakyat kecil lebih berat dibandingkan golongan berpenghasilan tinggi. Mereka menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan alternatif lain seperti optimalisasi pajak progresif.
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyarankan agar pemerintah fokus pada memperbaiki sistem pengumpulan pajak yang lebih efisien sebelum menaikkan tarif. "Masih banyak kebocoran dan potensi pajak yang belum tergali. Kenaikan tarif tidak selalu menjadi solusi terbaik," tegasnya dalam sebuah diskusi publik.
Meski menuai kritik, pemerintah bersikukuh bahwa kebijakan ini diperlukan untuk keberlanjutan fiskal jangka panjang. Untuk mengurangi dampak negatif, Sri Mulyani memastikan bahwa barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan tetap masuk dalam kategori yang tidak dikenakan PPN, sebagaimana diatur dalam skema tarif multi-layer.
Saya Alfia sebagai mahasiswa Universitas Pamulang menilai kenaikan PPN menjadi 12% adalah langkah strategis yang memerlukan pengelolaan cermat agar tidak memukul daya beli masyarakat. Kebijakan ini seharusnya diiringi dengan reformasi sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan, termasuk pengurangan kebocoran pajak dan pengenaan pajak lebih besar pada sektor berpenghasilan tinggi.
Saya juga berharap pemerintah meningkatkan komunikasi dengan masyarakat dan pelaku usaha, agar kebijakan ini tidak sekadar diterima, tetapi juga dipahami sebagai upaya memperbaiki ekonomi nasional. Selain itu, transparansi penggunaan dana dari kenaikan pajak menjadi kunci penting agar publik percaya bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.
Kenaikan PPN memang tidak bisa dihindari dalam konteks ekonomi global yang terus bergejolak. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada keberanian pemerintah untuk bertindak adil dan mendengarkan masukan dari semua pihak. Akankah langkah ini menjadi solusi atau justru menambah beban masyarakat? Hanya waktu yang akan menjawab.