Bahasa Gaul Gen Alpha Antara Kreativitas dan Identitas |
Penulis : Siti Fatihah Ashari – Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Indoaktual, Yogyakarta, Komunikasi setiap generasi berbeda. Bahasa menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi bagi Generasi Alpha, yaitu anak-anak yang lahir setelah tahun 2010. Bahasa gaul mereka menunjukkan identitas, kreativitas, dan budaya mereka sebagai generasi digital. Bahasa gaul ini menarik untuk diteliti, mulai dari istilah baru hingga penggunaan emoji sebagai pengganti kata.
Dunia di mana teknologi dan media sosial sangat berpengaruh lahirnya bahasa gaul Gen Alpha. Istilah-istilah baru muncul dan tersebar dengan cepat di platform seperti YouTube Shorts, TikTok, dan Instagram. Bahkan beberapa istilah berasal dari tren atau meme yang sulit dipahami oleh generasi sebelumnya. Misalnya, kata-kata seperti "slay" atau "gaslighting" sering digunakan untuk menunjukkan rasa kagum atau perilaku manipulatif. Selain itu, frasa seperti "no cap", yang berarti "tanpa bohong", atau "bet", yang berarti "setuju," menunjukkan betapa bahasa ini penuh dengan ungkapan sederhana namun memiliki makna yang besar.
Uniknya, bahasa gaul Gen Alpha sering kali memadukan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan bahasa lokal, menciptakan campuran unik yang hanya dimengerti oleh komunitas tertentu. Hal ini menunjukkan kreativitas mereka dalam menyesuaikan bahasa dengan budaya mereka sendiri. Bahasa gaul bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi juga menjadi cara Gen Alpha mengekspresikan identitas mereka. Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, mereka menggunakan bahasa untuk membangun komunitas dan membedakan diri dari generasi sebelumnya. Misalnya, penggunaan istilah seperti “FOMO” (Fear of Missing Out) atau “YOLO” (You Only Live Once) mencerminkan cara pandang hidup mereka yang lebih spontan dan berorientasi pada pengalaman. Mereka juga cenderung menggunakan bahasa gaul sebagai kode untuk menjaga privasi dalam ruang publik digital.
Mereka juga memiliki prinsip yang digunakan dalam bahasa ini. Gen Alpha dikenal memiliki sifat inklusif dan kepedulian sosial. Penggunaan istilah seperti "woke" untuk menggambarkan seseorang yang menyadari ketidakadilan sosial atau "ally" untuk mereka yang mendukung komunitas minoritas menunjukkan hal ini. Meskipun menarik, fenomena bahasa gaul ini memiliki masalah juga. Seringkali, generasi sebelumnya menghadapi kesulitan untuk memahami bahasa yang mereka gunakan, yang menyebabkan jurang komunikasi antara generasi. Selain itu, terlalu banyak menggunakan bahasa gaul dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk menggunakan bahasa formal, terutama dalam lingkungan akademik atau profesional. Sebaliknya, bahasa gaul ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang. Kreatifitas Gen Alpha dalam menciptakan istilah baru bisa menjadi tanda bahwa mereka adalah generasi yang inovatif, adaptif, dan sensitif terhadap perubahan zaman.
Bahasa gaul dari Gen Alpha menunjukkan bahwa bahasa tidak pernah statis. Mereka membuat istilah baru yang tidak hanya menggambarkan tren saat ini, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai dan identitas mereka sebagai generasi yang lahir di era digital. Sebagai masyarakat, kita harus melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memperoleh pemahaman tentang perspektif mereka daripada hanya menilai. Karena itu, bahasa gaul Gen Alpha tidak hanya menjadi tanda zaman, tetapi juga membantu orang berkomunikasi satu sama lain antara generasi.