Dari Protes hingga Puitis: Transformasi Bahasa dalam Musik Populer sebagai Media Kritik Sosial

Iwan Fals


Penulis : Muhammad Id’ham Febrio Sudiyono (6662220108)

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Indoaktual, Yogyakarta, Bahasa dalam musik populer tidak hanya menjadi alat hiburan semata, tetapi juga sebuah medium yang kuat untuk menyampaikan kritik sosial. Dalam berbagai era, musik telah menjadi saksi sekaligus penggerak perubahan sosial, menyuarakan ketidakadilan, dan membuka mata publik terhadap isu-isu yang sering diabaikan. Lirik yang berani dan penuh makna mampu menjangkau audiens luas, menawarkan cara baru untuk memahami permasalahan kompleks seperti kemiskinan, diskriminasi, hingga perubahan iklim.

Musik protes, yang sering dianggap sebagai bentuk perlawanan, telah menunjukkan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk melawan sistem yang menindas. Contohnya, lagu "Bento" karya Iwan Fals menyampaikan kritik tajam terhadap kesenjangan sosial dan budaya materialisme. Di sisi lain, "Darah Juang" yang menjadi lagu perjuangan mahasiswa memberikan energi perlawanan yang eksplisit terhadap ketidakadilan. Dengan memilih kata-kata yang tajam dan langsung, lirik semacam ini mampu menggugah kesadaran dan emosi pendengarnya, menciptakan solidaritas di antara mereka yang merasa terpinggirkan.

Namun, tidak semua lirik kritik sosial harus eksplisit. Beberapa musisi memilih pendekatan yang lebih puitis, menciptakan lapisan makna yang membutuhkan refleksi mendalam. Lagu seperti "Ibu" dari Iwan Fals, misalnya, menggunakan metafora sederhana namun kuat untuk menggambarkan perjuangan dan penderitaan kaum ibu sebagai simbol kekuatan dan pengorbanan. Bahasa yang digunakan mampu menjembatani berbagai latar belakang pendengar, menjadikannya abadi dalam berbagai konteks sosial.

Sayangnya, keberanian musisi dalam menyuarakan kritik sosial sering kali dibatasi oleh kekuatan komersial. Industri musik, yang didominasi oleh kapitalisme, kerap memprioritaskan lagu-lagu yang "aman" untuk pasar, mengabaikan karya yang terlalu politis atau kontroversial. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah musik populer masih memiliki kebebasan untuk menjadi alat perubahan sosial, atau telah terjebak dalam lingkaran konsumsi massal yang membungkam pesan-pesan kritisnya?

Meski demikian, munculnya platform digital telah membuka ruang baru bagi musisi independen untuk menyuarakan isu sosial tanpa batasan industri. Lagu-lagu seperti "This Is America" oleh Childish Gambino menjadi bukti bahwa kritik sosial yang tajam tetap memiliki tempat dalam musik populer modern. Dengan visual yang menggugah dan lirik yang penuh konotasi, lagu ini mampu menarik perhatian dunia terhadap isu kekerasan senjata dan rasisme di Amerika Serikat. Ini menunjukkan bahwa bahasa musik tetap relevan dalam menggugah kesadaran masyarakat, meski tantangan besar tetap ada.

Pada akhirnya, musik populer adalah refleksi dari zaman dan masyarakatnya. Bahasa dalam lirik tidak hanya sekadar kata-kata, tetapi sebuah kekuatan yang mampu menginspirasi, menggugat, dan menggerakkan perubahan. Selama musisi berani memilih kata-kata mereka dengan tujuan yang jelas dan tulus, musik akan terus menjadi media kritik sosial yang efektif. Namun, keberlanjutan peran ini bergantung pada kesadaran kita sebagai pendengar untuk mendukung karya-karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyuarakan kebenaran.

 

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال