Kritik kasus Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara

Kritik kasus Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sumber: betahita.id

 

Indoaktual, Yogyakarta, Proyek food estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara digagas sebagai solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Namun, banyak kritik yang ditujukan pada upaya ini. Emisi karbon yang tinggi dan kerusakan ekologi lainnya telah terjadi akibat pembukaan lahan gambut untuk pertanian skala besar di Kalimantan Tengah. Karena tanaman di wilayah tersebut, termasuk singkong, mengandung sianida dalam jumlah yang berbahaya, panen tersebut dianggap gagal. Kerusuhan sosial telah terjadi akibat proyek ini di Sumatera Utara, terutama terkait dengan alih fungsi kawasan hutan dan penghilangan akses lahan bagi penduduk setempat. Strategi pemerintah yang top-down sering kali mengabaikan kebutuhan masyarakat dan potensi pangan lokal.

Tindakan pemerintah untuk melibatkan korporasi besar dan penggunaan teknologi canggih dalam proyek ini juga menjadi sorotan. Alih-alih memberdayakan petani kecil, pendekatan ini membuat mereka kehilangan lahan dan hanya berperan sebagai buruh. Di sisi lain, pembukaan lahan yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan memperburuk kerusakan lingkungan dan menimbulkan ketidakpastian dalam hasil produksi.

Program ini banyak dikritik karena tidak sesuai dengan kondisi setempat, kerusakan lingkungan yang serius, dan dampak sosial yang merugikan bagi petani kecil, pendekatan yang terlalu bergantung pada investasi korporasi besar, yang justru memperburuk ketimpangan sosial dan ekosistem. Di Kalimantan Tengah, pembukaan lahan gambut untuk proyek ini tidak hanya mengabaikan keberlanjutan lingkungan tetapi juga menyebabkan konflik kepemilikan lahan dengan masyarakat adat. Proyek semacam ini cenderung meminggirkan petani kecil, yang pada akhirnya kehilangan akses ke lahan dan bergantung pada pekerjaan buruh di bawah perusahaan besar. Dengan penggunaan teknologi canggih yang tidak melibatkan petani lokal, ketimpangan dalam rantai produksi pangan semakin meningkat, mengorbankan keberlanjutan ekonomi masyarakat sekitar.

Selain itu, keberhasilan proyek food estate sering kali hanya diukur dari sudut pandang ekonomi skala besar tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan petani kecil. Misalnya, penggunaan lahan monokultur sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan pangan lokal, seperti kasus singkong beracun di Kalimantan yang gagal memenuhi standar konsumsi. Ketergantungan pada kebijakan top-down juga mengabaikan potensi lokal yang sebenarnya bisa mendukung kedaulatan pangan secara lebih efisien

Pemerintah harus mengutamakan strategi lokal dan berkelanjutan guna meningkatkan kebijakan pangan Indonesia. Pertama, salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian pangan tanpa merusak lingkungan adalah dengan membudidayakan tanaman pangan lokal seperti sagu, umbi-umbian, dan tanaman lain yang sesuai dengan ekosistem setempat. Kedua, penting untuk mendorong pendekatan kebijakan yang terdesentralisasi dengan memberdayakan pemerintah daerah untuk membuat program yang lebih memenuhi kebutuhan lokal. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan pada kebijakan nasional, yang seringkali tidak terkait dengan keadaan setempat.

Selain itu, pemerintah harus memprioritaskan metode pertanian berkelanjutan dan menahan diri dari penebangan lahan gambut yang rentan terhadap kerusakan ekologis. Sasaran utamanya adalah memberdayakan petani kecil dengan memberi mereka akses ke teknologi ramah lingkungan, pelatihan, dan pasar yang adil untuk hasil panen mereka. Terakhir, pemerintah harus meningkatkan penelitian dan inovasi pertanian untuk menghasilkan solusi yang mendukung ketahanan pangan jangka panjang, seperti membudidayakan tanaman yang tahan hama dan perubahan iklim. Strategi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga lingkungan, dan memperkuat kedaulatan pangan Indonesia.

Penulis: Shaqila Ramadhania / Mahasiswi Ilmu Komunikasi / Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال