Membangun Ketahanan Pangan Indonesia 2030: Solusi untuk Menghadapi Tantangan Global |
Indoaktual, Yogyakarta, Ketahanan pangan menjadi isu mendesak yang harus dihadapi Indonesia, terutama dalam menghadapi tekanan perubahan iklim dan dinamika global. Produksi pertanian dunia telah tumbuh sebesar 54% dari 2001 hingga 2021, namun angka ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi dunia yang diproyeksikan mencapai 9,6 miliar orang pada 2050. Untuk mencapainya, produksi pangan harus meningkat hingga 100%. Namun, tantangan perubahan iklim dan ketergantungan dunia pada komoditas tertentu seperti beras, jagung, dan gandum memperburuk risiko ketahanan pangan global, termasuk di Indonesia.
Indonesia masih bergantung pada impor untuk beberapa pangan strategis, seperti kedelai, gula pasir, bawang putih, dan daging sapi. Ketergantungan ini membuat negara rentan terhadap gangguan rantai pasok global. Selain itu, masalah gizi juga menjadi perhatian serius. Indonesia menghadapi triple burden malnutrition yang mencakup kekurangan gizi (stunting dan wasting), obesitas, serta kekurangan mikronutrien. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 21,6% anak balita mengalami stunting, sementara 21,8% populasi dewasa mengalami obesitas. Pola makan yang kurang beragam, terlalu bergantung pada nasi sebagai sumber karbohidrat utama, serta rendahnya konsumsi sayur, buah, dan protein lokal semakin memperburuk situasi ini.
Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu mentransformasi sistem pangan secara menyeluruh. Perubahan pola makan berbasis keragaman pangan lokal menjadi kunci untuk menciptakan kebiasaan konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan. Kampanye seperti Isi Piringku telah menjadi panduan yang diakui dunia untuk mendorong konsumsi gizi seimbang, sementara pengurangan konsumsi gula dan garam perlu terus digencarkan melalui edukasi dan regulasi. Dalam hal produksi, sektor pertanian Indonesia harus mulai beralih pada praktik berkelanjutan yang ramah lingkungan, seperti mengurangi penggunaan lahan hutan, meningkatkan pemanfaatan pupuk organik, dan melindungi biodiversitas. Pentingnya kelestarian hutan sebagai pendukung ekosistem pertanian juga harus diperhatikan agar keberlanjutan pangan tetap terjaga.
Sementara itu, pengurangan limbah pangan juga menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Indonesia menghadapi limbah pangan dalam jumlah besar, mulai dari tahap produksi hingga konsumsi. Upaya seperti penerapan protokol pengurangan Food Loss and Waste (FLW) serta kampanye konsumsi bijak dapat menjadi solusi yang efektif. Masyarakat juga dapat berkontribusi melalui langkah sederhana seperti konsumsi produk lokal, penyimpanan makanan yang lebih baik, serta pengomposan sisa makanan.
Keberhasilan transformasi sistem pangan juga membutuhkan kolaborasi multipihak yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 telah memandatkan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun sistem pangan nasional. Dalam konteks ini, Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) berperan penting dalam memfasilitasi kerja sama lintas sektor untuk mewujudkan kebijakan pangan yang lebih terintegrasi.
Pada COP28, Indonesia telah menunjukkan komitmennya bersama 159 negara lain untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan memperkuat keberlanjutan sistem pangan. Ketahanan pangan bukan hanya soal mencukupi kebutuhan kalori, tetapi juga memastikan sistem pangan yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya lokal secara optimal, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dunia dalam membangun sistem pangan yang tangguh dan berdaya saing.
Penulis: Muhammad Faisal Akbar (6662220175)
Mahasiswa ilmu komunikasi universitas Sultan agung tirtayasa, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik.