Peran Bahasa dalam Penyebaran |
Penulis : Samuel Adi Gunawan Manullang,
Ilmu Komunikasi
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Indoaktual, Yogyakarta, Hoaks telah menjadi salah satu masalah utama dalam era informasi saat ini, dan peran bahasa dalam penyebarannya tidak bisa diabaikan. Bahasa, sebagai alat komunikasi utama, sering kali dimanfaatkan untuk memengaruhi cara berpikir, membentuk opini, dan bahkan memanipulasi emosi masyarakat. Penggunaan bahasa yang manipulatif dan provokatif adalah salah satu ciri khas dari konten hoaks. Hal ini tidak hanya menyulitkan masyarakat untuk membedakan informasi yang benar dan salah, tetapi juga memperkuat efek negatif dari penyebaran berita palsu tersebut.
Sebagai masyarakat yang hidup di tengah banjir informasi, kita sering kali dihadapkan pada berbagai narasi yang disajikan dengan bahasa yang tampaknya meyakinkan. Hoaks sering kali dirancang dengan cara yang sangat cerdik, menggunakan pilihan kata dan frasa yang dirancang untuk menarik perhatian. Misalnya, banyak hoaks menggunakan kata-kata emosional seperti "darurat," "penting," atau "bahaya," yang bertujuan untuk memicu respons instan tanpa memberikan ruang untuk berpikir kritis. Dalam situasi seperti ini, bahasa bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi telah berubah menjadi senjata untuk memanipulasi pikiran dan emosi publik.
Salah satu contoh nyata dari penggunaan bahasa manipulatif dalam hoaks adalah penyebaran berita palsu terkait kesehatan, seperti saat pandemi COVID-19. Banyak berita yang menyebar menggunakan istilah ilmiah atau medis, yang sering kali sulit dipahami oleh orang awam. Namun, informasi tersebut disajikan dengan cara yang tampak ilmiah, sehingga orang cenderung mempercayainya tanpa memverifikasi kebenarannya. Dalam kasus ini, bahasa digunakan sebagai alat untuk memberikan kesan otoritas, padahal isi dari berita tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Selain itu, provokasi juga menjadi elemen penting dalam hoaks. Bahasa provokatif biasanya dirancang untuk membangkitkan emosi, seperti kemarahan, ketakutan, atau kebencian, yang dapat memicu reaksi impulsif dari pembaca atau pendengar. Misalnya, berita palsu yang mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu sering kali menggunakan diksi yang memperkuat stereotip atau stigma negatif. Bahasa semacam ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat dan menciptakan konflik sosial yang lebih besar.
Namun, tidak hanya konten yang sengaja dibuat untuk menipu yang menjadi masalah. Kesalahan pemahaman akibat berita yang diterjemahkan atau dikutip secara salah juga berkontribusi pada penyebaran informasi yang salah. Dalam banyak kasus, terjemahan yang tidak akurat dapat mengubah makna asli dari sebuah berita, yang kemudian menyebabkan penyebaran informasi yang menyesatkan. Misalnya, berita internasional yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sering kali kehilangan konteks atau mengalami distorsi makna karena keterbatasan dalam memahami budaya atau terminologi asalnya.
Sebagai contoh, banyak berita asing yang membahas isu-isu sensitif seperti politik atau konflik internasional diterjemahkan dengan cara yang tidak tepat, sehingga menghasilkan narasi yang berbeda dari maksud aslinya. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa tidak semua pembaca memiliki akses atau kemampuan untuk memeriksa sumber aslinya. Dalam kondisi seperti ini, bahasa yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi malah menjadi penghalang untuk memahami informasi secara benar.
Selain kesalahan terjemahan, masalah lainnya adalah konteks. Dalam banyak kasus, kutipan yang diambil dari sebuah wawancara atau laporan sering kali dipisahkan dari konteks aslinya. Akibatnya, informasi tersebut menjadi misleading atau membingungkan. Sebagai contoh, ketika sebuah pernyataan politikus dikutip tanpa menyertakan konteks lengkapnya, masyarakat mungkin salah menafsirkan maksud sebenarnya. Dalam situasi seperti ini, bahasa menjadi alat yang sangat rentan untuk dimanipulasi.
Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan literasi media dan literasi bahasa menjadi sangat penting. Masyarakat perlu diajarkan bagaimana menganalisis dan memahami bahasa dalam konteks informasi yang mereka terima. Hal ini termasuk memahami struktur bahasa yang digunakan dalam berita, mengenali pola-pola manipulasi, dan memeriksa keakuratan sumber informasi. Literasi bahasa juga melibatkan kemampuan untuk memahami nuansa dalam pilihan kata dan bagaimana pilihan tersebut dapat memengaruhi cara kita memahami informasi.
Selain itu, peran media dan institusi pendidikan juga tidak bisa diabaikan. Media memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa informasi yang mereka sampaikan akurat dan disajikan dengan bahasa yang jelas dan tidak menyesatkan. Sementara itu, institusi pendidikan perlu memasukkan literasi media dan literasi bahasa sebagai bagian dari kurikulum, agar generasi muda lebih siap menghadapi tantangan informasi di masa depan.
Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak pada individu atau institusi pendidikan saja. Platform digital juga harus mengambil peran aktif dalam memerangi penyebaran hoaks. Sebagai contoh, algoritma yang digunakan oleh media sosial sering kali memprioritaskan konten yang bersifat sensasional atau kontroversial, yang pada akhirnya mempercepat penyebaran hoaks. Dengan memperbaiki algoritma ini dan memberikan prioritas pada konten yang diverifikasi, platform digital dapat membantu mengurangi dampak negatif dari penyebaran informasi palsu.
Di sisi lain, ada juga kebutuhan untuk melibatkan komunitas linguistik dan peneliti bahasa dalam upaya ini. Penelitian tentang bagaimana bahasa digunakan dalam hoaks dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang pola-pola manipulasi dan cara terbaik untuk melawannya. Misalnya, dengan memahami bagaimana bahasa provokatif bekerja, kita dapat merancang strategi komunikasi yang lebih efektif untuk melawan narasi hoaks.
Pada akhirnya, masalah hoaks bukan hanya tentang konten, tetapi juga tentang bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan, menyebarkan, dan memperkuat informasi yang salah. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang peran bahasa dalam penyebaran hoaks, kita dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi masyarakat dari dampak buruknya. Upaya kolektif dari individu, media, institusi pendidikan, dan platform digital sangat penting untuk memastikan bahwa bahasa tetap menjadi alat komunikasi yang memberdayakan, bukan yang menyesatkan.