Skandal Kekerasan Seksual di BEM KM : Ketika Suara Korban Dilawan dengan Sensor an

Skandal Kekerasan Seksual di BEM KM : Ketika Suara Korban Dilawan dengan Sensor an


Nama : Syifa Yunia Briliani

Sumber : Twitter


Indoaktual, Yogyakarta, Sebuah universitas di Kalimantan Selatan tengah diguncang isu besar yang melibatkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM). Sang Sekjen dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual terhadap enam korban dalam rentang waktu 2023 hingga 2024. Namun, respons terhadap kasus ini menuai kritik tajam karena dinilai lamban dan kurang serius dalam memberikan perlindungan bagi korban.

 

Lima Korban pada 2023 : Sanksi yang Terlalu Ringan.

Pada 2023, lima korban pertama melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku. Alih-alih mendapatkan tindakan tegas, pelaku hanya menerima sanksi berupa teguran lisan. Respons yang dinilai sangat ringan ini memunculkan pertanyaan besar tentang sejauh mana komitmen organisasi dalam menciptakan lingkungan aman di kampus.

 

Kasus Berlanjut pada 2024 : Satu Korban Lagi.

Tahun berikutnya, satu korban baru kembali melaporkan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku. Kali ini, BEM KM mengambil tindakan lebih tegas dengan menjatuhkan Surat Peringatan (SP) kepada pelaku, yang kemudian disusul dengan pemecatan dari organisasi. Langkah ini menunjukkan adanya perbaikan, meski datang terlambat bagi para korban sebelumnya.

Surat Pemecatan : Diunggah, Diturunkan, dan Disensor.

Sebagai bentuk transparansi, BEM KM sempat mengunggah surat pemecatan pelaku ke media sosial. Namun, surat itu kemudian diturunkan dan diunggah ulang dengan nama pelaku disensor. Langkah ini memicu reaksi keras dari publik, terutama mereka yang menginginkan konsekuensi nyata bagi pelaku. Sensor nama pelaku dianggap bertentangan dengan semangat transparansi dan upaya menciptakan kesadaran atas kekerasan seksual.

Lembaga Pers Mahasiswa Jadi Garda Terdepan

Kasus ini pertama kali mencuat berkat keberanian sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di kampus tersebut. LPM ini menjadi pihak pertama yang menyoroti dugaan kekerasan seksual melalui liputan yang terperinci. Beberapa hari setelah pemberitaan oleh LPM, surat bebas tugas pelaku akhirnya dirilis, meski tetap menyisakan kontroversi. Peran media kampus ini diapresiasi sebagai langkah berani dalam mengungkap kebenaran di tengah kebungkaman institusi.

Pelajaran dari Kasus Ini

Kasus ini menjadi gambaran nyata bagaimana kekerasan seksual di lingkungan kampus sering kali dihadapi dengan respons yang kurang memadai. Meskipun langkah pemecatan pelaku adalah kemajuan, sensor nama pelaku dan sanksi awal yang lemah menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam menegakkan keadilan bagi korban.

 

Kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya media kampus dalam menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara. Dalam perjuangan melawan kekerasan seksual, transparansi, keberanian, dan keadilan harus tetap menjadi prioritas untuk mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan berpihak pada korban.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال