Swasembada Pangan 2025: Menimbang Ambisi, Tantangan dan Keterbatasan yang Menghadang, Sumber: Detik.com |
Penulis : Nawal Najiya Rasya, Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Indoaktual, Yogyakarta, Indonesia merupakan negara dengan Sumber Daya Alamnya yang melimpah, mendapat status sebagai sebuah negara agraris, menjadikan Indonesia memiliki peluang besar untuk dapat mewujudkan swasembada pangan pada 2025. Visi ini menjadi bagian integral dari cita-cita menuju Indonesia Emas 2045, tidak hanya sebagai wujud ketahanan domestik, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Tetapi untuk mencapai hal tersebut, Indonesia menghadapi banyak tantangan yang perlu menjadi perhatian serta pendekatan yang lebih holistik, berkelanjutan, serta responsif terhadap dinamika perubahan global, termasuk dalam alokasi anggaran dan kebijakan di sektor pertanian.
Tantangan Utama dalam Ketahanan Pangan
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya mencapai swasembada pangan adalah konversi lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa yang merupakan pusat produksi pangan utama di Indonesia. Dilansir dari antaranews.com Komisi II DPR RI meminta Kementerian ATR/BPN menghentikan alih fungsi lahan pertanian. Rata-rata konversi sawah di Indonesia mencapai 100.000 hektare per tahun, dengan Pulau Jawa sebagai penyumbang terbesar, terutama Jawa Timur (288.290 hektare). Hal ini jelas mengancam keberlanjutan kapasitas produksi pangan domestik. Alih fungsi lahan ini sering kali dipicu oleh kebutuhan akan lahan untuk pembangunan infrastruktur dan kawasan hunian yang semakin meningkat. Oleh karena itu, pengelolaan lahan pertanian yang lebih efisien dan berbasis keberlanjutan menjadi penting untuk menjaga ketersediaan pangan di masa depan.
Selain itu, ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan, terutama gandum, menunjukkan ketidakmampuan sektor pertanian untuk mencukupi kebutuhan domestik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir dari Kontan.co.id, impor gandum Indonesia mencapai 9,45 juta ton pada Januari–September 2024, naik 19,5 persen (YoY). Angka ini mendekati total impor sepanjang 2023, yaitu 10,87 juta ton. Ketergantungan ini menggambarkan keterbatasan dalam memperkuat kapasitas produksi domestik untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan seringkali menjadi solusi jangka pendek untuk menstabilkan harga pangan di pasar domestik.
Lebih jauh lagi, perubahan iklim turut memperburuk ketahanan pangan. Banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrim lainnya semakin mempengaruhi produktivitas pertanian. Banyak petani yang harus beradaptasi dengan kondisi ini, namun keterbatasan dalam teknologi pertanian dan akses terhadap sistem irigasi yang efisien memperburuk situasi. Pengembangan dan implementasi teknologi adaptasi iklim, seperti irigasi cerdas dan varietas tanaman yang tahan terhadap cuaca ekstrem, menjadi penting untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Selain menghadapi tantangan alamiah, kesejahteraan petani di Indonesia juga menjadi isu yang tidak kalah penting dan mendesak. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan sebuah indikator yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan petani di Indonesia. Dengan NTP, pemerintah dan lembaga terkait dapat membuat rancangan dan mengimplementasikan kebijakan yang dapat mendukung peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani. Namun dilansir dari Inilah.com berdasarkan data BPS, NTP pada April 2024 tercatat sebesar 116,79, turun 2,18 persen akibat penurunan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 1,74 persen dan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,45 persen. Penurunan ini menggambarkan tantangan seperti rendahnya harga jual hasil panen, ketergantungan pada tengkulak, serta terbatasnya akses terhadap teknologi dan modal. Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan petani harus menjadi prioritas utama kebijakan ketahanan pangan untuk mencapai swasembada pangan.
RAPBN 2025: Tantangan Anggaran untuk Swasembada Pangan dan Sektor Pertanian
Dilansir dari cnbcindonesia.com, dalam RAPBN 2025 pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 124 triliun untuk ketahanan pangan, naik 7,9% dibandingkan outlook tahun sebelumnya. Meskipun ada peningkatan, anggaran ini terbilang stagnan mengingat rata-rata kenaikan anggaran ketahanan pangan selama 10 tahun terakhir hanya 7,5%. Anggaran tersebut digunakan untuk mendukung berbagai tahapan dalam rantai pasok pangan, mulai dari pra-produksi hingga konsumsi, dan dialokasikan melalui berbagai kementerian, seperti Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta program Transfer Daerah dan subsidi pangan.
Namun, persoalan besar masih menghadang pemerintah, terutama dalam hal infrastruktur pertanian yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pangan. Salah satunya adalah sektor irigasi yang berperan penting dalam memastikan ketersediaan air untuk lahan pertanian. Sayangnya, meskipun kebutuhan akan infrastruktur ini sangat mendesak, anggaran yang dialokasikan untuk Kementan diperkirakan akan mengalami penurunan drastis menjadi hanya Rp 7,91 triliun pada 2025, berkurang hampir 40% dibandingkan tahun sebelumnya (cnbcindonesia.com). Penurunan ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kebutuhan nyata di lapangan dan anggaran yang tersedia untuk mendukung sektor pertanian.
Di sisi lain, dilansir dari kumparan.com, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengusulkan prioritas pemanfaatan anggaran tahun 2025 untuk mendukung swasembada pangan, terutama beras, dengan alokasi sebesar Rp 23,61 triliun. Alokasi ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri, dengan target produksi padi yang mencapai 32,83 juta ton beras. Anggaran ini juga mencakup program-program penting, seperti cetak sawah seluas 225 ribu hektare dan pengembangan kawasan padi seluas 485 ribu hektare. Meskipun ini adalah langkah positif dalam mewujudkan ketahanan pangan, upaya tersebut harus didukung oleh infrastruktur yang memadai, khususnya irigasi, yang dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing produk pangan Indonesia di pasar global.
Melihat situasi dan kondisi tersebut, pertanyaan besar muncul: Apakah Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dalam jangka panjang?
Strategi Meningkatkan Distribusi dan Kualitas Pangan
Selain masalah produksi, distribusi pangan menjadi hal utama untuk mencapai ketahanan pangan. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar dalam mendistribusikan pangan secara merata ke seluruh wilayah, terutama ke daerah-daerah terpencil. Disparitas harga pangan antar daerah yang disebabkan oleh biaya distribusi yang tinggi, sering kali membuat harga pangan domestik lebih mahal dibandingkan harga pangan internasional.
Untuk mengatasi masalah ini, pembangunan sistem distribusi pangan yang efisien dan merata harus menjadi perhatian utama. Hal ini mencakup pembangunan infrastruktur logistik yang terintegrasi, seperti pelabuhan, jalan raya, dan fasilitas penyimpanan pangan yang memadai. . Tanpa adanya kebijakan yang mendukung distribusi pangan yang merata dan infrastruktur yang terintegrasi, ketahanan pangan di daerah-daerah terpencil akan terus terancam. Selain itu, peningkatan kualitas pangan lokal dan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar global juga harus diprioritaskan agar produk pertanian dalam negeri dapat bersaing dengan produk impor.
Pembangunan sektor pertanian yang berkelanjutan juga memerlukan perhatian terhadap aspek lingkungan. Penggunaan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, seperti pertanian organik, serta sistem pertanian yang mengutamakan pelestarian sumber daya alam, perlu didorong. Dengan demikian, sektor pertanian tidak hanya berkontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga terhadap kelestarian lingkungan.
Penutup
Pencapaian swasembada pangan Indonesia pada 2025 merupakan tantangan besar yang membutuhkan upaya sinergis antara semua pihak yang terlibat. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan alokasi anggaran yang cukup dan tepat sasaran untuk mendukung penguatan sektor pertanian. Fokus utama harus diberikan pada pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, pengembangan teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, serta pemberdayaan petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan langkah-langkah strategis yang tepat dan implementasi kebijakan yang konsisten, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai swasembada pangan dan menjadi lumbung pangan dunia. Namun, tanpa komitmen kuat dan kolaborasi yang efektif antara semua pihak terkait, cita-cita ini akan sulit tercapai. Oleh karena itu, RAPBN 2025 harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan keseriusannya dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, sekaligus mewujudkan Indonesia yang mandiri dan berkelanjutan dalam sektor pangan.
Referensi:
- https://megapolitan.antaranews.com/berita/318261/dpr-minta-kementerian-atr-bpn-stop-alih-fungsi-lahan-pertanian
- https://industri.kontan.co.id/news/permintaan-tinggi-impor-gandum-tembus-945-juta-ton-hingga-september-2024#google_vignette
- https://www.inilah.com/tingkat-kesejahteraan-petani
- https://www.cnbcindonesia.com/research/20240827100446-128-566652/prabowo-mimpi-ri-swasembada-pangan-sayang-ri-gak-punya-duit
- https://kumparan.com/kumparanbisnis/mentan-usul-cetak-sawah-225-ribu-hektare-di-2025-demi-capai-swasembada-pangan-242V3S2ZiWV
Nawal Najiya Rasya, Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa