INDOAKTUAL – Kebijakan publik kerap dipuja sebagai bukti kehadiran negara, tetapi dalam banyak kasus justru menjadi alat pemaksaan kehendak kekuasaan. Pemerintah berbicara atas nama rakyat, namun sering lupa mendengarkan suara rakyat itu sendiri. Di balik jargon pembangunan dan stabilitas, tersimpan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang dilayani oleh kebijakan negara?

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN

Retorika “demi kepentingan nasional” telah menjadi tameng ampuh untuk menutup kritik. Setiap kebijakan yang merugikan masyarakat selalu dibungkus bahasa teknokratik yang rumit dan dingin, seolah-olah penderitaan rakyat dapat diselesaikan dengan grafik dan tabel. Ketika kebijakan gagal, rakyat diminta beradaptasi, sementara elite pembuat kebijakan nyaris tak pernah dimintai pertanggungjawaban.

Pembangunan infrastruktur menjadi contoh paling gamblang. Jalan tol, bendungan, dan proyek raksasa digadang-gadang sebagai simbol kemajuan, tetapi menyingkirkan warga dari tanah dan ruang hidupnya sendiri. Penggusuran dilegalkan, konflik agraria meningkat, dan suara warga dipatahkan atas nama percepatan pembangunan. Negara hadir, tetapi bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penekan.

Kebijakan bantuan sosial pun tak luput dari manipulasi kekuasaan. Program yang seharusnya menyelamatkan kelompok rentan justru berubah menjadi komoditas politik. Data penerima yang amburadul, penyaluran yang sarat kepentingan, dan pencitraan berlebihan menjelang kontestasi politik menunjukkan bahwa kemiskinan sering dijadikan panggung untuk mempertahankan kekuasaan.

Lebih memprihatinkan lagi, kebijakan hukum dan birokrasi menunjukkan wajah ganda negara. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan reformasi dan supremasi hukum. Di sisi lain, praktik tebang pilih, kriminalisasi kritik, dan perlindungan terhadap elite yang bermasalah terus terjadi. Hukum tidak lagi berdiri sebagai panglima, melainkan sebagai alat kekuasaan yang fleksibel.

Partisipasi publik dalam perumusan kebijakan sering hanya formalitas kosong. Rapat dengar pendapat dilakukan sekadar memenuhi prosedur, bukan untuk menyerap aspirasi. Kritik dilabeli sebagai ancaman stabilitas, sementara kepatuhan dibeli dengan janji dan bantuan sesaat. Demokrasi direduksi menjadi ritual lima tahunan tanpa makna substantif.

Dalam situasi ini, kebijakan publik kehilangan orientasi etiknya. Regulasi tidak lagi dirancang untuk keadilan sosial, melainkan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi segelintir kelompok. Negara perlahan bergeser dari pelayan rakyat menjadi pengelola kekuasaan, dengan rakyat sebagai objek yang harus tunduk dan diam.

Namun kritik bukanlah tindakan subversif, melainkan bentuk cinta pada demokrasi. Kebijakan publik harus dibuka pada evaluasi, dipaksa transparan, dan diuji keberpihakannya. Pemerintah tidak boleh alergi terhadap kritik, karena kebijakan yang benar tidak lahir dari pujian, melainkan dari keberanian menghadapi kenyataan.

Jika kebijakan publik terus diarahkan untuk melanggengkan kekuasaan, maka kepercayaan rakyat akan runtuh sedikit demi sedikit. Negara yang kehilangan kepercayaan publik sedang menggali lubang krisisnya sendiri. Oleh karena itu, pertanyaan tentang arah kebijakan publik bukan sekadar wacana akademik, melainkan alarm keras: negara harus memilih, melayani rakyat atau terus memelihara kekuasaan.

Rekomendasi

Pertama, pemerintah harus mengembalikan orientasi kebijakan publik pada prinsip keadilan sosial dan keberpihakan nyata kepada rakyat, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek. Setiap kebijakan harus diuji dampaknya secara terbuka, terutama terhadap kelompok rentan, bukan hanya dinilai dari keberhasilan serapan anggaran atau pencitraan politik.

Kedua, partisipasi publik harus dimaknai secara substantif, bukan prosedural. Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang sungguh-sungguh, melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas terdampak sejak tahap perumusan kebijakan. Kritik tidak boleh dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai instrumen koreksi demokratis.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas kebijakan harus ditegakkan tanpa kompromi. Setiap keputusan publik harus dapat ditelusuri alasan, aktor, dan kepentingannya. Penegakan hukum harus bebas dari intervensi kekuasaan agar kebijakan publik tidak menjadi tameng bagi penyalahgunaan wewenang dan praktik oligarkis.

Penutup

Kebijakan publik adalah wajah paling jujur dari sebuah kekuasaan. Ia tidak bisa bersembunyi lama di balik slogan, baliho, dan pidato seremonial. Rakyat menilai bukan dari janji, tetapi dari dampak nyata yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kebijakan terus melukai rasa keadilan, maka legitimasi kekuasaan perlahan akan terkikis.

Pada akhirnya, negara harus menentukan sikap dalam tetap berdiri sebagai pelayan rakyat atau terus terjebak dalam logika pelanggengan kekuasaan. Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tuli terhadap kritik akan runtuh oleh ketidakpercayaan publik. Oleh karena itu, menjaga arah kebijakan publik agar tetap berpihak pada rakyat bukan sekadar pilihan politik, melainkan keharusan moral dalam sebuah negara demokratis.

Penulis: Akbar Supri Yaza – Ilmu Hukum – Universitas Pamulang PSDKU Kota Serang