INDOAKTUAL – Dalam kehidupan sosial generasi muda saat ini, pernahkah kita berpikir fenomena yang sebenarnya sederhana tetapi sangat sering terjadi, yaitu kita, anak muda, lebih mudah mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada teman, pacar, atau sahabat dibandingkan kepada orang tua sendiri. Fenomena ini terlihat sepele, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia menyimpan banyak makna tentang cara kita tumbuh, cara kita memandang hubungan, dan cara kira menyikapi kesalahan. Bahkan kita sendiri selalu mengucapkan “maaf ya” kepada teman, tetapi ragu,malu atau gengsi untuk mengucapkannya kepada ibu ataupun ayah. Mengapa bisa begitu?
Salah satu alasan yang paling kuat adalah karena kita terlalu nyaman dengan orang tua. Kenyamanan itu membuat kita merasa mereka akan selalu menerima, memahami dan memaklumi. Hubungan antara orang tua dan anak adalah hubungan yang tidak mungkin benar benar putus, sehingga banyak anak muda secara tidak sadar berpikir bahwa meminta maaf kepada orang tua tidak sepenting meminta maaf kepada teman. Teman bisa pergi kapan saja kalau kita tidak menjaga hubungan. Pacar bisa marah, menjauh, atau bahkan memutuskan untuk berhenti berkomunikasi. Kebanyakan dari kita takut kehilangan mereka, sehingga ketika ada konflik, kita langsung sigap meminta maaf.
Sebaliknya, orang tua tidak pernah benar-benar pergi. Mereka tetap ada, meski kita keras kepala, tidak peka, atau bahkan menyakiti perasaan mereka. Saking merasa “aman”, kita justru menjadi lebih kasar kepada orang tua dibanding kepada orang lain. Kita bicara dengan nada tinggi tanpa sadar, kita membantah, kita marah, atau kita memilih diam berhari-hari tanpa rasa bersalah. Tetapi ketika konflik terjadi dengan teman atau pacar, kita bisa langsung panik dan buru-buru minta maaf. Ironisnya, semakin dekat hubungan kita dengan orang tua, semakin besar pula rasa nyaman yang membuat kita kurang berhati-hati.
Selain itu, ada faktor ego dan gengsi. Kepada teman sebaya, kita merasa mudah mengakui kesalahan karena mereka sepadan. Namun ketika berhadapan dengan orang tua, ada rasa malu untuk terlihat salah atau lemah. Kita kadang merasa harus mempertahankan pendapat sendiri agar terlihat mandiri atau dewasa, padahal sering kali itu hanya bentuk dari ketidakmampuan kita mengatur emosi. Tidak sedikit dari kita yang merasa “nggak enak” kalau harus minta maaf ke orang tua, karena maaf itu terasa lebih berat, seperti mengaku bahwa kita sungguh-sungguh bersalah. Beratnya bukan pada kata maaf, tetapi pada perasaan di dalamnya.
Ada juga alasan psikologis lain yaitu emosi kita kepada orang tua jauh lebih dalam. Ketika orang tua kecewa, rasanya menyakitkan, lebih menyakitkan daripada dimarahi teman atau pasangan. Karena rasa sakit itu dalam, kita pun menunda meminta maaf. Kita takut melihat reaksi mereka. Kita takut perasaan bersalah itu kembali muncul. Kita takut harus menghadapi kenyataan bahwa kita, mungkin, sudah menyakiti orang yang paling mencintai kita tanpa
syarat.

Dalam kehidupan nyata, orang tua tidak menuntut kata maaf yang mewah. Mereka hanya ingin kita sadar, ingin kita menghargai mereka, dan ingin kita memahami bahwa kata “maaf” dari anak yang mereka besarkan adalah bentuk penghargaan, bukan kelemahan. Sering kali mereka bahkan sudah memaafkan kita jauh sebelum kita sadar bahwa kita melakukan kesalahan.
Karena itu, mungkin ini saat yang tepat untuk mulai menurunkan ego, menurunkan nada bicara, dan mulai belajar meminta maaf kepada orang tua, sebelum waktu menutup kesempatan itu. Tidak harus dengan kata-kata panjang. Tidak harus menunggu momen tertentu. Kadang cukup dengan ucapan sederhana seperti, “Ma, Pa, aku minta maaf ya kalau kemarin aku salah,” dan itu sudah lebih daripada yang pernah kita lakukan selama ini.
Pada akhirnya, meminta maaf bukan tentang siapa yang paling benar atau siapa yang paling salah. Meminta maaf adalah tentang keberanian untuk mengakui bahwa kita adalah manusia yang dapat melukai, sekaligus manusia yang ingin memperbaiki. Dan orang tua, dari semua manusia yang kita temui dalam hidup ini, adalah orang pertama yang pantas menerima maaf yang paling jujur dari diri kita.
Sumber:
Gustiani, I. S., Adelia, M. R., Ramdhan, S. S., Maspupah, H. N., & Rozak, R. W. A. 2025.
Komunikasi keluarga dalam membangun kepercayaan orangtua terhadap anak. Kampret Journal. Vol. 4(3): 103-108.
Rahiem, M. D. 2023. Orang Tua dan Regulasi Emosi Anak Usia Dini. Aulad: Journal on Early Childhood. Vol. 6(1): 40-50.
Tsalja, Z. B. T., Hudzaifah, A. N., dan Fitriyana, A. Q. Z. 2025. Kesulitan Anak dalam Mengucapkan Kalimat Minta Maaf kepada Orang Tua: Studi Psikologis dan Peran Orang Tua dalam Pembentukan Sikap. Jurnal Penelitian Ilmiah Multidisipliner. Vol. 1(4): 371-377.
Penulis: Muhammad Ardra Wibawa Mukti – Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa






