Dalam beberapa pekan terakhir, dunia maya diramaikan oleh fenomena baru: transformasi foto asli menjadi ilustrasi bergaya Studio Ghibli menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya model GPT-4o. Tren yang dikenal sebagai ghiblifikasi ini memukau jutaan netizen dengan visual lembut, atmosfer magis, dan palet warna khas film-film karya Hayao Miyazaki. Namun di balik estetika memanjakan mata, geliat tren ini menyulut perdebatan hangat di Jepang tentang hak cipta, etika teknologi, dan perlindungan karya budaya.
Fenomena Viral dan Teknologi di Baliknya
Model GPT-4o dan beberapa platform AI generatif seperti Midjourney, serta DALL·E, memungkinkan pengguna mengunggah foto pribadi dan mengubahnya menjadi ilustrasi yang meniru gaya lukisan tangan Studio Ghibli. Unggahan bertagar #ghiblify atau #AIghibli di X (dulu Twitter), tiktok dan Instagram telah meraih jutaan impresi dan ribuan unggahan ulang, menjadi bukti kekuatan viral dari estetika nostalgia.
Namun, kepopuleran ini tidak luput dari sorotan kritis. Banyak yang menilai karya tersebut secara visual “terlalu mirip” dengan gaya otentik Studio Ghibli, membuka ruang diskusi tentang apakah ini merupakan bentuk penghormatan atau justru pelanggaran terhadap kekayaan intelektual.
Reaksi Studio Ghibli: Tak Bisa Diam
Studio Ghibli sendiri akhirnya memberikan pernyataan resmi melalui juru bicara internalnya, menyatakan bahwa mereka “sangat tidak nyaman dengan penyalahgunaan estetika visual kami oleh mesin yang tidak memiliki kesadaran artistik atau izin eksplisit.”
Menurut studio yang dikenal ketat terhadap orisinalitas ini, gaya visual mereka bukan sekadar tampilan luar, tetapi ekspresi filosofis dan budaya yang merepresentasikan nilai-nilai seperti anti-kekerasan, cinta alam, dan spiritualitas Jepang. Karena itu, replikasi yang dilakukan oleh AI dinilai sebagai bentuk “reduksi budaya” menjadi sekadar efek visual.
“Ketika Anda meniru gaya kami tanpa memahami semangat di baliknya, Anda tidak sedang menciptakan, Anda sedang menyalin,” ujar Toshio Suzuki, produser senior Ghibli, dalam wawancara dengan Asahi Shimbun.
Legislator Jepang Pertimbangkan Aturan Baru: Gaya vs Hak Cipta
Perdebatan hukum soal ghiblifikasi semakin memanas setelah isu ini secara resmi dibawa ke dalam rapat Komite Kabinet Parlemen Jepang. Dalam sesi tersebut, Masato Imai, anggota Partai Demokrat Konstitusional Jepang, mempertanyakan kepada Wakil Menteri Kebijakan Kebudayaan, Hirohika Nakahara, apakah gambar bergaya Ghibli buatan AI dapat dianggap melanggar hak cipta.
Dilansir dari Dexerto “Banyak yang mempertanyakan apakah fenomena yang disebut ‘ghiblifikasi’ yakni pembuatan gambar AI bergaya Studio Ghibli termasuk pelanggaran hak cipta,” ujar Imai. “Sejauh mana legalitas hal tersebut dalam kerangka hukum saat ini?”
Menanggapi pertanyaan tersebut, Nakahara menjelaskan bahwa secara hukum, gaya atau ide visual tidak bisa langsung dilindungi oleh hak cipta. “Jika hanya sebatas kemiripan gaya atau gagasan, maka tidak dianggap pelanggaran hak cipta. Namun, apabila konten buatan AI tersebut terbukti memiliki kesamaan substansial dengan karya yang telah memiliki hak cipta, maka ada kemungkinan dapat dianggap pelanggaran,” ujarnya.
Imai kemudian memperjelas, “Jadi, penggunaan gaya dan ide diperbolehkan secara hukum, namun jika suatu karya AI dinilai merepresentasikan ‘Ghibli itu sendiri’, maka hal itu bisa melanggar undang-undang.”
Saat ini, belum ada langkah hukum langsung yang diambil pemerintah Jepang terhadap ChatGPT atau platform AI lainnya. Namun, wacana amandemen Undang-Undang Hak Cipta Jepang mulai mengemuka, demi mengatur karya yang dihasilkan AI dan memberi perlindungan lebih kuat terhadap gaya visual sebagai identitas budaya.
Inspirasi atau Penjiplakan?
Sebelumnya, sebagian kreator muda dan pengguna media sosial menyambut ghiblifikasi sebagai cara baru mengekspresikan diri. “Ini bukan meniru, tapi reinterpretasi kreatif. AI adalah alat, bukan pencuri,” ujar Haruka Nishida, ilustrator digital asal Osaka, dalam wawancara dengan Techno Viva, 18 April 2025.
Namun dengan munculnya klarifikasi dari pemerintah dan pakar hukum, argumen semacam itu perlu ditinjau ulang. Pernyataan Nakahara menegaskan bahwa gaya visual memang tak langsung dilindungi, tapi ketika output AI menyerupai secara substansial karya yang ada, maka tetap ada risiko pelanggaran. Maka, garis antara inspirasi dan imitasi menjadi lebih kabur dan kompleks.
Ghiblifikasi adalah fenomena unik yang mencerminkan dua wajah zaman: kekuatan teknologi dan rapuhnya batas legal serta moral. Jepang sebagai negara dengan tradisi artistik kuat sekaligus pelopor teknologi digital harus menjadi teladan dalam merespons isu ini dengan bijak.
Apakah kita akan membiarkan AI mereplikasi semua yang indah dan unik? Ataukah kita akan mulai membangun pagar etika sebelum batas-batas itu hilang sepenuhnya?
Penulis : Muhammad Naufal Ammar Mu’ammar — Mahasiswa Sastra Inggris Unnes