Pertanian di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, masih menjadi sumber penghidupan utama. Namun, dalam era modernisasi dan tantangan ekonomi global, petani seringkali terjebak dalam masalah harga jual hasil panen yang rendah. Untuk mengatasi hal ini, salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan nilai tambah melalui pengembangan agroindustri lokal. Salah satu contoh sukses adalah pengembangan Talas Beneng di Provinsi Banten menjadi contoh nyata bagaimana “menanam harapan” bisa berbuah menjadi “inovasi” yang menyejahterakan.
Talas Beneng (Xanthosoma undipes) adalah tanaman umbi lokal khas Pandeglang, Banten. Awalnya dianggap sebagai tanaman liar, kini telah berkembang menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekonomi tinggi berkat bantuan dari berbagai pihak, seperti lembaga penelitian dan pelaku agroindustri. Menurut data Dinas Pertanian Banten dalam Budiarto dan Rahayuningsih (2017), menunjukkan bahwa Talas Beneng memiliki kadar pati yang tinggi (sekitar 79– 83%), serat pangan yang baik, dan indeks glikemik rendah. Ini membuatnya potensial diolah menjadi bahan pangan fungsional dan tepung alternatif pengganti terigu.
Melalui pengembangan agroindustri, Talas Beneng kini diolah menjadi berbagai produk inovatif seperti tepung beneng, brownies beneng, keripik beneng, hingga kopi beneng. Inovasi ini tidak hanya meningkatkan nilai jual produk hingga 3–5 kali lipat dibandingkan umbi mentah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di desa-desa penghasil talas. Menurut data Dinas Pertanian Banten dalam Nurcahya dan Santoso (2023), pengembangan agroindustri talas beneng berhasil meningkatkan pendapatan petani hingga 45% dan menghidupkan kembali potensi lahan tidur yang sebelumnya tidak produktif.
Dari sisi sosial dan ekonomi, keberhasilan Talas Beneng menjadi contoh model hilirisasi pertanian yang berbasis komunitas lokal. Agroindustri memberikan dampak besar dalam membangun rantai pasok yang efisien, memperkuat keterampilan petani dalam manajemen pascapanen, serta menjangkau pasar lebih luas melalui branding produk. Penelitian oleh Wahjusaputri et al. (2018), juga menunjukkan bahwa kerja sama antara petani, UMKM, dan pemerintah daerah menjadi kunci keberlanjutan proyek ini. Adanya
produk olahan dari Talas Beneng juga membantu memperkenalkan identitas pangan lokal Banten ke tingkat nasional dan mulai menarik minat pasar ekspor.
Kisah Talas Beneng menunjukkan bahwa agroindustri bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi juga tentang menumbuhkan nilai, inovasi, dan kebanggaan daerah. Petani kini menjadi bagian aktif dalam rantai nilai industri pangan, bukan hanya penyedia bahan mentah. Dengan dukungan riset, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor, Talas Beneng menjadi simbol nyata bagaimana Indonesia dapat menanam harapan di tanah sendiri, lalu menuai inovasi untuk masa depan pertanian yang lebih sejahtera dan berdaya saing global.
Referensi:
Budiarto, M. S., dan Rahayuningsih, Y. 2017. Potensi nilai ekonomi Talas Beneng (Xanthosoma undipes K. Koch) berdasarkan kandungan gizinya. Jurnal Kebijakan Pembangunan Daerah. Vol. 1(1): 1-12.
Nurcahya, S. B., dan Santoso, O. R. S. 2023. Strategi pemasaran daun talas beneng (studi kasus kelompok tani talas di Kecamatan Jumo). Jurnal Ilmiah Magister Ilmu Administrasi. Vol. 17(1).
Wahjusaputri, S., Bunyamin, B., dan Nastiti, T. I. 2018. Pengembangan Ekonomi Kreatif Melalui Pemanfaatan Talas Beneng Sebagai Komoditas Unggulan Kelompok Tani Kelurahan Juhut, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Madani (JPMM). Vol. 2(2): 186-203.
Penulis: Alisha Khadani Fahmi – Teknologi Pangan – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa







 
                         
                         
                         
                         
                         
                        