Indoaktual, JAKARTA – Diskusi mendalam tentang revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencuat dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Senin, 18 Maret 2025. Beragam pakar, akademisi, dan pemangku kepentingan menyerukan perubahan tata kelola hutan yang lestari dan adil, harmonisasi antara pelestarian alam, kemakmuran rakyat, dan kebutuhan pangan nasional. Rokhmin Dahuri, anggota Komisi IV DPR, menegaskan bahwa sektor kehutanan perlu menjadi produktif, efisien, kompetitif, inklusif, serta selaras dengan lingkungan—sebuah pandangan yang menjembatani persoalan lokal dengan tantangan dunia seperti perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan lonjakan kebutuhan pangan global. Teknologi menjadi tumpuan harapan, tapi butuh langkah nyata agar tak mandeg di ranah retorika.
Hutan di Tengah Badai Krisis Global
Hutan tropis Indonesia, yang dijuluki paru-paru dunia, berperan besar menyerap karbon dan menjaga stabilitas iklim planet ini. Akan tetapi, laporan The State of the World’s Forests 2020 dari FAO mengungkap fakta mencemaskan: dunia kehilangan 22,8 juta hektar hutan setiap tahun antara 2010 dan 2020, meningkatkan beban bagi Indonesia (FAO, 2021). Wacana pemerintah untuk mengalihkan 20 juta hektar hutan menjadi lahan food estate demi ketahanan pangan menuai pro dan kontra. Dr. Soeryo Adi Wibowo dari IPB University menyoroti risiko lonjakan emisi metana—yang 25 kali lebih merusak dibandingkan CO₂—berdasarkan catatan kegagalan proyek serupa sebelumnya.
Rokhmin Dahuri menilai situasi ini sebagai titik kritis. “Kita bertanggung jawab mempercepat pembangunan untuk tekan kemiskinan dan pengangguran, tapi hutan kita menyusut 900.000 hektar per tahun, laut juga morat-marit,” ujarnya. Ia menolak polag growth mania (“kaya dulu, urusan lingkungan belakangan”) maupun deep environmentalist (menghentikan pertumbuhan), mendorong pembangunan berkelanjutan yang atasi deforestasi, kebakaran hutan, dan emisi, namun tetap produktif dan merata. FAO memperkirakan produksi pangan dunia harus melonjak 70 persen pada 2050 untuk memenuhi 9 miliar jiwa (FAO, 2017). Tapi, membabat hutan bukan solusi. Rokhmin menunjuk Finlandia sebagai cermin: “Kontribusi kehutanan mereka pernah 30 persen PDB, kini 15 persen, kita hanya 0,37 persen—sungguh ironis.”
AI dan Big Data: Langkah Nyata, Bukan Angan
Teknologi seperti AI dan Big Data sering digaungkan sebagai penyelamat. Platform SEPAL dari FAO memanfaatkan AI untuk pantau deforestasi secara langsung via satelit, mendeteksi pelanggaran dalam waktu singkat (FAO, 2023). Di bidang pangan, precision agriculture berbasis AI dan Big Data berpotensi tingkatkan panen hingga 70 persen pada 2050 tanpa perlu lahan baru (Frontiers in Artificial Intelligence, Singh & Kaur, 2022). Misalnya: analisis prediktif untuk waktu tanam terbaik, deteksi awal hama yang hemat pestisida, dan rantai pasok efisien yang pangkas limbah pasca-panen—30-40 persen di negara berkembang (FAO, 2020).
M AL Husaini, praktisi AI, Big Data, dan digitalisasi, menawarkan langkah konkret. “AI dan Big Data harus jadi penyambung manfaat, bukan cuma istilah canggih,” katanya. Ia mengusulkan “digital forestry symbiosis”—sistem AI yang padukan data satelit dengan laporan warga lokal lewat aplikasi ponsel terjangkau. “Petani dan komunitas adat bisa kirim laporan kebakaran atau perambahan via SMS atau foto, lalu AI proses untuk tindakan cepat. Ini efisien karena pakai jaringan seluler pedesaan yang sudah menjangkau 90 persen wilayah Indonesia.” Menurutnya, cara ini bisa percepat deteksi ancaman hutan hingga dua kali lebih cepat ketimbang hanya andalkan satelit, sekaligus libatkan warga sebagai pelindung pertama.
Al Muhairi dari Lampung bilang kekurangan pangan nasional cuma 580.000 ton dari 31,2 juta ton. “Naikkan produksi 10 persen lewat teknologi, hutan tak perlu disentuh,” katanya. Rokhmin sependapat: “Kita tak butuh 20 juta hektar baru. Lahan terdegradasi milik Inhutani atau PTPN bisa dipakai.” Ia ajukan lima langkah: tata ruang cerdas dengan drone dan satelit, teknik total allowable harvest, produk non-kayu seperti karbon, bibit unggul, dan mitigasi iklim. “Ini bisa angkat kehutanan jadi primadona, seperti Finlandia,” tegasnya.
Harmoni yang Berakar pada Manusia
Integrasi hutan, pangan, dan teknologi wajib merangkul semua pihak. Rokhmin soroti ketimpangan: “Satu persen orang terkaya pegang 50 persen kekayaan nasional. Kehutanan harus beri manfaat luas, bukan cuma segelintir elit.” Ia kritik marginalisasi masyarakat adat, konflik agraria, dan illegal logging. “Kita ingin sektor ini sumbang 5-10 persen PDB lagi seperti Orde Baru, tapi dengan cara lestari,” katanya, sebut carbon trading dan industri hilir sebagai peluang.
Husaini tambahkan gagasan praktis. “Digitalisasi harus rakyat punya. Aplikasi simpel yang beri petani ramalan cuaca dan harga pasar, sekaligus ajak mereka awasi hutan sekitar. Jika 10 persen dari 25 juta petani kecil dilatih dasar digital dalam tiga tahun, kita bisa bangun jaringan pengawas hutan terluas di dunia.” Ini pemberdayaan nyata, manfaatkan tenaga kerja desa tanpa ongkos infrastruktur mahal.
Tantangannya? Kesenjangan digital dan SDM. European Parliament (2023) catat hambatan adopsi AI di negara berkembang. Rokhmin bandingkan dengan China: “Ekonomi maju, kemiskinan lenyap, lingkungan terjaga karena tata kelola solid. Kita malah korupsi merajalela.” Ia dan Husaini setuju: tanpa tata kelola jernih dan hukum kuat, teknologi cuma polesan permukaan.
Revisi UU: Titik Balik Baru
Revisi UU Kehutanan jadi peluang besar. Rokhmin dan Darori Wonodipuro, anggota DPR, dorong partisipasi publik agar adil. Rekomendasi FGD—hutan permanen 30 persen DAS, pengakuan hutan adat yang mudah, dan integrasi AI—sejalan visi mereka. “Hutan lindung itu napas bangsa, tak boleh disentuh siapa pun presidennya,” kata Rokhmin, usul sinkronisasi dengan UU agraria untuk urai konflik tenurial.
Lewat langkah ini, Indonesia bisa jadi pelopor: negara tropis yang satukan hutan, teknologi, dan pangan untuk hadapi krisis global. Hutan tak lagi jadi lahan sembarang, tapi mitra kehidupan yang dijaga teknologi dan tangan manusia, seperti digagas Husaini—visi realistis yang membumi dan membangkitkan harapan.
Penulis: M Al Husaini (Tenaga Ahli DPR RI/ Praktisi AI dan Digital sektor Publik)