Evaluasi nilai gizi pangan merupakan suatu langkah penting dalam memahami kualitas makanan yang kita konsumsi setiap hari. Makanan tidak hanya dinilai dari rasa dan tampilan, tetapi juga dari kandungan zat gizinya yang memengaruhi kesehatan tubuh. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, nasi menjadi salah satu makanan pokok yang hampir selalu hadir di setiap hidangan. Namun, seiring meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat, muncul minat baru terhadap cara pengolahan dan penyajian nasi yang dapat memengaruhi nilai gizinya, salah satunya adalah konsumsi nasi dingin.
Evaluasi nilai gizi pangan bertujuan untuk menilai kandungan energi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serta zat bioaktif lainnya dalam bahan makanan. Dengan melakukan evaluasi ini, kita dapat mengetahui seberapa besar dampak suatu makanan terhadap metabolisme dan kesehatan tubuh kita. Oleh karena itu, pengetahuan terkait hal ini menjadi penting, terutama untuk makanan yang dikonsumsi secara rutin, seperti nasi. Melalui kajian nilai gizi dan indeks glikemik, kita dapat memahami bagaimana cara memasak dan menyajikan nasi dapat memengaruhi kadar gula darah dan keseimbangan energi tubuh.
Lalu, benarkah konsumsi nasi yang sudah dingin lebih baik dari nasi yang masih hangat dan baru saja selesai dimasak? Yuk simak penjelasan lebih lanjut dibawah ini.

Secara ilmiah, nasi yang didinginkan setelah dimasak mengalami perubahan struktur pada kandungan patinya. Sebagian pati tersebut berubah menjadi resistant starch atau pati resisten, yaitu jenis pati yang sulit dicerna oleh tubuh. Proses ini menyebabkan nasi dingin memiliki indeks glikemik lebih rendah dibandingkan nasi panas. Artinya, konsumsi nasi dingin tidak menyebabkan lonjakan kadar gula darah yang terlalu cepat, sehingga lebih baik untuk menjaga kestabilan energi dan mengontrol kadar gula darah, terutama bagi penderita diabetes atau mereka yang menjaga berat badan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Novianti et al. (2017) mengenai analisis kadar glukosa pada nasi putih dengan lama penyimpanan berbeda, diketahui bahwa nasi putih yang disimpan selama 12 jam mengalami peningkatan kadar glukosa. Namun, setelah melewati waktu penyimpanan tersebut, kadar glukosa justru mengalami penurunan. Fenomena ini disebabkan oleh adanya reaksi pati pada suhu tinggi yang dapat meningkatkan jumlah gula pereduksi. Proses pemanasan yang berlangsung lama menyebabkan pemecahan molekul pati menjadi gula sederhana berupa glukosa, sehingga kandungan gula pereduksi pada nasi pun meningkat. Oleh sebab itu, nasi yang dikonsumsi dalam keadaan yang sudah tidak hangat bermanfaat bagi kesehatan dan suhu dapat menurunkan indeks glikemik pada nasi.
Selain itu, manfaat konsumsi nasi dingin tidak berhenti sampai hanya sampai disitu saja. Adanya kandungan resistant starch yang berperan seperti serat pangan dapat membantu menjaga kesehatan sistem pencernaan. Oleh karena itu, nasi dingin juga dapat membuat rasa kenyang bertahan lebih lama, sehingga dapat membantu mengontrol nafsu makan. Hal ini sesuai dengan Purbowati dan Anugrah (2020) menyatakan bahwa pati yang mengalami proses retrogradasi merupakan jenis pati resisten yang paling stabil serta sukar dicerna. Kondisi ini terjadi karena rantai amilosa yang berbentuk lurus mudah mengalami degradasi, dan ketika rantai tersebut bergabung kembali melalui proses retrogradasi, terbentuklah struktur polimer yang padat dan sulit diuraikan oleh enzim pencernaan. Adanya perubahan struktur pati yang mengalami retrogradasi menjadi pati resisten tersebut yang menyebabkan kadar glukosa atau gula dalam nasi menurun.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi nilai gizi pangan penting dilakukan untuk mengetahui dampak suatu makanan terhadap tubuh. Nasi dingin menjadi contoh menarik bagaimana proses sederhana seperti pendinginan dapat mengubah nilai gizi dan manfaat kesehatan suatu bahan pangan. Namun, manfaat dari mengkonsumsi nasi dingin ini hanya optimal jika dikombinasikan dengan pola makan seimbang, asupan protein, sayur, serta gaya hidup aktif. Dengan begitu, konsumsi nasi dingin bukan hanya tren, tetapi bagian dari upaya menerapkan prinsip gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pemahaman ini, masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memilih dan mengolah makanan, tidak hanya berdasarkan kebiasaan, tetapi juga berdasarkan pengetahuan gizi yang dapat menunjang hidup sehat dan berkualitas.
Salam hangat dari penulis
Penulia: Siti Rahma Fitriyani A, Mahasiswi Teknologi Pangan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.







 
                         
                         
                         
                         
                         
                        