INDOAKTUAL – Pernikahan dini masih menjadi masalah sosial yang memerlukan perhatian serius, termasuk di Desa Benowo, Kecamatan Pakal, Kota Surabaya. Meskipun regulasi tentang batas usia perkawinan telah diperketat, pernikahan pada usia belia tetap terjadi akibat budaya, tekanan lingkungan, serta minimnya pemahaman tentang risiko yang ditimbulkan.
Tinjauan literatur yang saya lakukan selama kegiatan pengabdian, menunjukkan bahwa pernikahan dini memiliki korelasi kuat dengan peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pasangan yang menikah muda umumnya belum matang secara emosional, belum stabil secara finansial, dan belum memahami peran dalam rumah tangga. Ketidaksiapan ini sering memicu konflik, yang berpotensi berkembang menjadi kekerasan fisik, psikis, hingga ekonomi.
Fenomena ini juga diperkuat oleh suara warga Desa Benowo yang saya temui.
Salah satu warga, Ibu S (35 tahun), menyampaikan bahwa “Anak-anak sekarang banyak yang cepat menikah karena merasa itu jalan keluar dari masalah. Padahal setelah menikah justru banyak yang kaget karena tidak siap mengurus rumah tangga.”
Tokoh Masyarakat, Ibu A (25 tahun), menambahkan bahwa “Kami sering melihat pasangan muda bertengkar karena masalah ekonomi. Kalau masih sekolah atau baru kerja, mereka belum kuat menghadapi tekanan. Dari situlah kadang muncul kekerasan.”
Kondisi tekanan ekonomi dan ketidakstabilan rumah tangga juga berdampak pada anak. Seorang kader Karang Taruna, Ibu M (40 tahun), mengatakan, “Yang kasihan itu perempuan dan anaknya. Banyak yang takut bicara kalau mengalami kekerasan, terutama kalau mereka belum punya penghasilan sendiri.”
Realitas ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan hanya keputusan personal, tetapi berpotensi menimbulkan siklus masalah baru di dalam keluarga. Ketika konflik meningkat, lingkungan sosial pun ikut terdampak. Seorang warga lainnya, Ibu I (45 tahun), menegaskan, “Kalau orang tuanya masih belum dewasa, anak sering tidak terurus. Lingkungan juga jadi ikut repot.”
Melihat kondisi tersebut, diperlukan upaya pencegahan yang terstruktur. Edukasi mengenai kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, dan perencanaan masa depan harus terus digalakkan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat. Penguatan layanan perlindungan perempuan dan anak serta mekanisme pelaporan kekerasan juga menjadi kebutuhan mendesak.
Saya menemukan bahwa perubahan dapat dimulai dari penyuluhan kecil dan dialog bersama masyarakat. Kesadaran bahwa pernikahan membutuhkan kesiapan mental, ekonomi, dan edukasi merupakan kunci agar generasi muda tidak terjebak pada pernikahan dini yang justru menciptakan risiko kekerasan.
Melalui kolaborasi berkelanjutan, saya berharap Desa Benowo dapat menjadi lingkungan yang lebih aman, suportif, dan berkeadilan bagi perempuan serta anak.
Penulis: Nia Anisyah







