Di satu sisi, serapan asing dapat memperkaya bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata seperti internet, software, dan website memperluas kosakata yang sebelumnya belum ada. Istilah asing juga memudahkan komunikasi global, terutama dalam dunia profesional dan pendidikan. Selain itu, kreativitas berbahasa anak muda, seperti mencampurkan bahasa gaul dengan serapan asing, menunjukkan fleksibilitas bahasa Indonesia. Contohnya, “ngopi dulu biar chill” atau “gue butuh staycation biar waras”. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Namun, di sisi lain, penggunaan berlebihan kata serapan asing juga berpotensi mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Terlalu sering menggunakan istilah asing dapat mengurangi rasa cinta terhadap bahasa sendiri. Generasi muda cenderung lebih bangga menggunakan bahasa Inggris di media sosial, padahal bahasa Indonesia memiliki padanan yang baik. Misalnya, kata unduh kalah populer dibandingkan download, dan perbarui jarang digunakan dibandingkan update. Selain itu, istilah asing sering kali menimbulkan kebingungan atau ambiguitas, terutama bagi mereka yang tidak familiar dengan bahasa asing, seperti reschedule, output, atau recovery.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kebijakan dan kesadaran bersama dalam menggunakan bahasa. Mengutamakan padanan kata bahasa Indonesia yang sudah ada harus menjadi kebiasaan. Misalnya, mengganti gadget dengan gawai atau edit dengan sunting. Pendidikan bahasa Indonesia sejak dini juga penting agar generasi muda terbiasa menggunakan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, peran media massa dan institusi publik dalam membiasakan penggunaan bahasa baku sangatlah krusial. Kampanye kreatif melalui media sosial juga dapat menarik minat generasi muda untuk lebih mencintai bahasa Indonesia.
Serapan asing memang tidak dapat dihindari dan merupakan keniscayaan di era globalisasi. Namun, jika digunakan secara bijak dan diimbangi dengan kesadaran menjaga bahasa asli, serapan asing justru bisa memperkaya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa harus tetap dipertahankan di tengah arus globalisasi yang semakin deras. Mari kita mulai
mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan bangga tanpa mengesampingkan perkembangan bahasa global yang ada.
Artikel ditulis oleh Muhammad Tabina Zachary, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.