Di tengah ritme hidup yang serba cepat, pilihan makanan kita sering kali didorong oleh rasa dan kepraktisan, bukan oleh kandungan gizinya. Nasi putih hangat, roti tawar, minuman manis, dan jajanan kekinian menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian banyak orang Indonesia. Padahal, di balik kelezatan itu, tersembunyi ancaman yang perlahan tapi pasti bisa menggerogoti kesehatan salah satunya adalah peningkatan kadar gula darah yang tidak terkendali. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2024), lebih dari 19 juta masyarakat Indonesia hidup dengan diabetes, dan jutaan lainnya berada dalam fase pradiabetes tanpa disadari. Salah satu penyebab utamanya adalah pola makan tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Untuk mencegah hal ini, masyarakat perlu memahami dua hal penting: indeks glikemik dan evaluasi nilai gizi.
Apa Itu Indeks Glikemik?
Indeks glikemik (IG) adalah ukuran yang menunjukkan seberapa cepat karbohidrat dalam makanan diubah menjadi glukosa di dalam darah. Semakin tinggi nilai IG, semakin cepat pula kadar gula darah meningkat setelah makan.
Sebagai contoh, nasi putih, roti tawar, dan kentang goreng termasuk makanan dengan IG tinggi. Sebaliknya, beras merah, oatmeal, ubi rebus, dan apel memiliki IG rendah. Makanan dengan IG rendah membuat lonjakan gula darah terjadi lebih lambat dan stabil penting untuk menjaga keseimbangan energi dan mencegah diabetes.
Tak hanya jenis makanan, cara pengolahan juga berpengaruh. Nasi yang dimasak terlalu lembek, roti putih halus, atau kentang yang digoreng dapat meningkatkan nilai IG karena struktur karbohidratnya lebih mudah dicerna. Menariknya, nasi yang sudah dimasak lalu didinginkan sebelum dikonsumsi justru bisa menurunkan IG-nya, karena terbentuk resistant starch (pati resisten) yang sulit dipecah menjadi glukosa.
Hubungan Indeks Glikemik dengan Diabetes
Konsumsi makanan tinggi IG secara berlebihan membuat pankreas bekerja keras menghasilkan insulin, hormon yang menurunkan kadar gula darah. Bila hal ini terus terjadi, tubuh bisa mengalami resistensi insulin, di mana sel-sel tubuh tidak lagi merespons insulin dengan baik. Inilah awal dari diabetes melitus tipe 2.
Penelitian dari Jenkins et al. (2024), menunjukkan bahwa pola makan dengan IG tinggi meningkatkan risiko diabetes hingga 40% lebih besar dibandingkan mereka yang
mengonsumsi makanan ber-IG rendah. Sebaliknya, diet rendah IG terbukti membantu mengontrol kadar gula darah, menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL), serta memperbaiki sensitivitas insulin.
Mengapa Evaluasi Nilai Gizi Itu Penting?
Evaluasi nilai gizi membantu kita menilai seberapa banyak kandungan zat gizi dalam suatu makanan mulai dari karbohidrat, protein, lemak, hingga vitamin, mineral, dan serat.
Membaca label gizi pada kemasan bukan sekadar formalitas. Dari situ, kita bisa melihat total kalori, kadar gula tambahan, serta kandungan serat. Makanan tinggi serat umumnya memiliki IG lebih rendah karena serat memperlambat penyerapan glukosa di usus.
Sebagai contoh, satu porsi minuman boba bisa mengandung lebih dari 40 gram gula, atau setara dengan 10 sendok teh gula pasir. Sementara batas konsumsi gula harian yang direkomendasikan WHO (2023) adalah maksimal 25 gram per hari untuk menjaga berat badan dan kesehatan metabolik. Bagi penderita diabetes, evaluasi nilai gizi membantu menjaga kestabilan gula darah. Bagi masyarakat umum, kebiasaan ini menjadi bentuk pencegahan dini agar tidak terjebak dalam pola makan tinggi gula tanpa disadari.
Langkah Sederhana untuk Hidup Lebih Sehat
Mencegah diabetes tidak berarti harus menghindari semua makanan manis atau karbohidrat. Kuncinya adalah mengatur jenis dan jumlahnya. Berikut langkah-langkah kecil yang bisa dilakukan setiap hari:
- Pilih sumber karbohidrat kompleks seperti beras merah, gandum utuh, jagung, atau ubi.
- Tambahkan sayuran dan protein pada setiap porsi makan untuk memperlambat penyerapan gula.
- Kurangi minuman manis dan produk olahan yang tinggi gula tambahan.
- Biasakan membaca label gizi sebelum membeli produk kemasan.
- Perhatikan porsi makan, karena makanan sehat pun bisa berdampak buruk jika dikonsumsi berlebihan.
- Tetap aktif bergerak, karena aktivitas fisik membantu tubuh memanfaatkan glukosa secara efisien.
Referensi :
International Diabetes Federation (IDF). (2024). IDF Diabetes Atlas, 11th Edition. Brussels, Belgium: International Diabetes Federation. Diakses dari https://diabetesatlas.org
Jenkins, D. J., Willett, W. C., Yusuf, S., Hu, F. B., Glenn, A. J., Liu, S., and Yang, W. 2024. Association Of Glycaemic Index And Glycaemic Load With Type 2 Diabetes, Cardiovascular Disease, Cancer, And All-Cause Mortality: A Meta-Analysis Of Mega Cohorts Of More Than 100 000 Participants. The Lancet Diabetes & Endocrinology. Vol. 12(2): 107-118.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2024). Situasi dan Analisis Diabetes di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses dari https://pusdatin.kemkes.go.id/
World Health Organization (WHO). (2023). Guideline: Sugar Intake for Adults and Children. Geneva: World Health Organization.
Penulis : Aidah – Teknologi Pangan







 
                         
                         
                         
                         
                         
                         
                        