Pernah nggak sih kamu baru aja makan roti isi atau sosis jumbo, perut sudah terasa penuh… tapi dalam hati muncul pikiran, “Kayaknya belum makan deh kalau belum makan nasi.

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN

Yap, kalimat ini bukan hal asing di telinga orang Indonesia. Seolah-olah, makan apa pun selain nasi hanyalah “cemilan pembuka”.

Tapi kenapa ya nasi punya “kekuatan” sebesar itu? Jawabannya ternyata bukan cuma soal kebiasaan turun-temurun, tapi juga ada faktor sains pangan dan fisiologi tubuh yang ikut berperan.

Nasi: Sumber Pati Utama Masyarakat Indonesia

Nasi, terutama nasi putih, merupakan sumber pati (starch) yang sangat tinggi. Pati adalah jenis karbohidrat kompleks yang tersusun dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Saat beras dimasak dengan air, granula pati di dalamnya akan menyerap air, mengembang, lalu strukturnya rusak melalui proses yang disebut gelatinisasi.

Hasilnya adalah nasi yang pulen dan lembut sehingga mudah dicerna oleh tubuh. Begitu kita makan nasi, enzim amilase dalam air liur dan usus langsung bekerja memecah pati menjadi glukosa. Glukosa inilah yang kemudian digunakan tubuh sebagai bahan bakar utama, terutama untuk otak dan aktivitas sehari-hari.

Karena kandungan patinya tinggi dan mudah dicerna, nasi cepat memberi sinyal ke tubuh bahwa “energi sudah masuk”. Makanya, banyak orang merasa kenyang lebih mantul setelah makan nasi dibandingkan setelah makan makanan sumber karbohidrat lain.

Rasa Kenyang Itu Bukan Cuma Soal Perut

Banyak orang mengira rasa kenyang hanya bergantung pada isi lambung, padahal otak punya peran besar. Saat kita makan, kadar glukosa dalam darah naik. Otak menerima sinyal ini melalui hormon seperti leptin dan insulin, lalu mengirimkan notifikasi kenyang.

Nasi putih punya indeks glikemik yang cukup tinggi, artinya ia cepat menaikkan kadar glukosa darah. Inilah salah satu alasan kenapa sepiring nasi bisa membuat kita merasa puas dan berenergi dalam waktu singkat.

Sebaliknya, makanan seperti roti, kentang, atau pasta mungkin punya struktur pati atau kadar air yang berbeda. Efek kenyangnya jadi nggak selalu sama dengan nasi. Akibatnya, walaupun secara kalori sudah cukup, tubuh dan otak kita belum yakin bahwa itu adalah makan besar.

Budaya Makan Nasi yang Mengakar

Selain faktor fisiologis, kebiasaan ini juga sangat kuat secara budaya. Sejak kecil, banyak orang Indonesia diajarkan bahwa “makan” = “makan nasi”. Hidangan khas seperti sayur lodeh, ayam goreng, tempe orek, sambal, atau rendang semuanya dirancang untuk disantap dengan nasi. Kalau lauknya dimakan tanpa nasi, rasanya seperti ada yang kurang.

Padahal secara gizi, roti atau mi juga sama-sama sumber karbohidrat. Tapi secara budaya, status “makan” belum sah sebelum ada nasi di piring.

Antara Tradisi dan Gaya Hidup Sehat

Meski nasi punya peran penting sebagai sumber energi, terlalu banyak konsumsi nasi putih tanpa pendamping serat atau protein bisa menyebabkan gula darah cepat naik dan cepat turun lagi, bikin cepat lapar. Karena itu, banyak ahli gizi menyarankan untuk mengombinasikan nasi dengan lauk tinggi protein dan sayur berserat agar rasa kenyang bertahan lebih lama dan energi lebih stabil.

Sekarang juga mulai banyak variasi nasi yang lebih sehat, seperti nasi merah, nasi jagung, atau campuran nasi putih dengan oat atau quinoa. Ini bukti bahwa budaya makan nasi bisa tetap dipertahankan sambil mengikuti pola makan modern yang lebih seimbang.

Jadi, alasan kenapa banyak orang Indonesia “belum berasa kenyang kalau belum makan nasi” bukan cuma sugesti belaka. Ini adalah hasil perpaduan antara struktur kimia pati pada nasi, cara tubuh kita memproses karbohidrat, dan budaya kuliner yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Nasi bukan sekadar karbohidrat, tapi juga bagian dari identitas dan kebiasaan kita sebagai orang Indonesia

Referensi:

Dwipajati, D., dan Kaswari, S. R. T. 2024. Restriction of Rice Portion and Consumption Pre-Meal Fruit with HbA1c Levels and Abdominal Fat for Type 2 Diabetes Mellitus Patient in Malang City: Pembatasan Porsi Nasi dan Konsumsi Buah Sebelum Makan dengan Kadar HbA1c dan Lemak Perut Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 di Kota Malang. Amerta Nutrition. Vol. 8(1): 58–66.

Rozali, Z. F., Purwani, E. Y., Iskandriati, D., Palupi, N. S., dan Suhartono, M. T. 2018. The Potential of Rice Resistant Starch as Fungsional Food Ingredient: Potensi Pati Resisten Beras sebagai Bahan Pangan Fungsional. Jurnal PANGAN. Vol. 27(3): 215-224.

Penulis: Gisella Susilo – Teknologi Pangan – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.