Pernah memilih buah karena warnanya cerah? Atau batal memilih saus untuk dimakan karena sausnya tampak kusam? Kita semua sadar atau tidak, menilai makanan dari warnanya. Warna adalah kesan pertama yang kita dapatkan, bahkan sebelum mencicipinya.

Namun di balik tampilannya, warna makanan ternyata bukan hanya soal estetika. Di dunia industri pangan, warna dianalisis secara ilmiah untuk memastikan kualitas, keamanan, dan konsistensi produk. Proses ini disebut analisis warna.

Mengapa Warna Pangan Harus Dianalisis?

1. Penentu Daya Tarik Konsumen

Kita makan dengan mata terlebih dahulu. Produk yang tampak segar, cerah, dan konsisten cenderung lebih disukai. Analisis warna membantu produsen menjaga agar produk tetap menarik dan seragam.

2. Indikator Kualitas dan Kesegaran

Perubahan warna bisa menunjukkan:

  • Kerusakan bahan baku (misalnya, daging berubah dari merah ke coklat)
  • Kematangan buah (hijau → kuning → coklat)
  • Reaksi kimia atau mikrobiologi (pencoklatan enzimatis pada apel, oksidasi pada minyak)

3. Mengontrol Proses Produksi

Dalam proses pemanggangan, penggorengan, pengeringan warna menunjukkan tingkat kematangan. Dengan analisis warna, kedepannya masyarakat bisa menentukan waktu proses yang optimal.

4. Regulasi Label & Pewarna

Jika ingin menambahkan pewarna makanan, maka wajib untuk memastikan konsentrasi sesuai batas aman dan warna merata. Ini tak bisa dilihat dengan mata telanjang saja karena membutuhkan alat dan data.

 Apa Itu Analisis Warna?

Analisis warna adalah pengukuran warna produk secara objektif dan kuantitatif, menggunakan alat seperti:

  • Colorimeter: Mengukur intensitas warna dalam sistem warna standar (misalnya CIELAB: L*, a*, b*)
  • Spektrofotometer: Menganalisis spektrum cahaya yang dipantulkan/ditransmisikan
  • Pencitraan digital: Menggunakan kamera berstandar kalibrasi untuk analisis visual

Contoh Aplikasi dalam Dunia Nyata

  • Susu bubuk → harus berwarna putih krem; jika kekuningan, menandakan reaksi Maillard berlebih.
  • Minuman teh botol → harus berwarna coklat konsisten; jika ada perubahan menandakan oksidasi.
  • Sosis atau nugget → warna merah muda alami bisa berubah ke abu-abu jika penyimpanan buruk.
  • Produk bakery → warna kulit roti menunjukkan kematangan.

Apa Risiko Jika Tidak Dianalisis?

  • Produk Tidak Konsisten

Warna makanan bisa berbeda-beda antar batch produksi jika tidak dikontrol. Hal ini menimbulkan persepsi produk cacat atau rusak di mata konsumen, meskipun rasanya sama.

  • Salah Persepsi Kualitas

Konsumen menilai makanan dari tampilan. Jika warna tampak kusam, pudar, atau tidak merata seperti dianggap tidak segar, sudah rusak, atau tidak higienis. penurunan daya tarik visual dapat menyebabkan penurunan penjualan.

  • Tidak Terdeteksinya Kerusakan atau Reaksi Kimia

Karena arna bisa berubah akibat reaksi Maillard (pada susu bubuk, roti), oksidasi (pada minyak atau daging) dan pencoklatan enzimatis (buah dan sayur)

  • Klaim Produk Tidak Akurat

Misal: “warna alami dari wortel” atau “tidak mengandung pewarna sintetis”. Tanpa bukti analisis warna, klaim tersebut bisa dianggap menyesatkan.

  • Risiko Pewarna Berlebihan atau Tidak Merata

Tidak tahu apakah pewarna makanan sudah terlalu pekat atau belum karena bisa membahayakan kesehatan jika terlalu pekat

Dengan pemaparan diatas, diharapkan masyarakat dapat mengetahui bahwa warna bukan sekadar estetika. Dalam pangan warna adalah indikator mutu, kematangan, keamanan, dan kepercayaan konsumen.

Analisis warna menjamin bahwa setiap botol minuman, setiap kemasan camilan, dan setiap sajian makanan tampil konsisten dan sesuai harapan. Di era konsumen cerdas dan industri modern, warna makanan bukan lagi urusan mata saja, tapi urusan data.

Penulis: Carissa Winanti – 4444230123 – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa