Indoaktual, PT Perkebunan Nusantara IV Regional V senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif atas konflik lahan dengan sekelompok masyarakat di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Namun saat terjadi perbuatan melawan hukum, sebagai pihak yang diamanahkan untuk mengelola perkebunan negara tersebut, maka langkah hukum yang diambil bukan untuk mengkriminalisasi, melainkan guna menjaga aset negara serta menegakkan aturan itu sendiri.

Hal ini diungkapkan oleh Manajer Kebun Tabara PTPN IV Regional V Anwar Anshari untuk meluruskan sejumlah pemberitaan yang dinilai tidak akurat dan berpotensi menyesatkan opini masyarakat.

Dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/07) ia menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional perusahaan, termasuk langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu atau menduduki lahan tanpa izin, telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Perlu kami tegaskan bahwa tidak ada unsur kriminalisasi dalam langkah yang kami tempuh. Semua tindakan kami adalah bagian dari upaya menjaga dan mengamankan aset negara yang dikelola oleh PTPN sebagai bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” ujar Anshari.

Ia menambahkan, lahan yang menjadi objek konflik merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Tabara. Saat ini, HGU tersebut tengah berada dalam proses perpanjangan yang telah dimulai jauh sebelum adanya dinamika di lapangan.

“Proses perpanjangan HGU sudah berjalan dan telah melalui Sidang Panitia B yang difasilitasi oleh BPN Kalimantan Timur. Bahkan permohonan penghentian proses yang diajukan oleh warga telah ditolak secara resmi oleh BPN karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” jelasnya.

Anshari juga menyoroti salah satu pemberitaan dari media NGO, yang menurutnya memuat kutipan fiktif atas namanya. Dalam artikel disebutkan pernyataan Anshari yang menyinggung soal aksi warga. Padahal, menurutnya, tidak pernah ada permintaan konfirmasi maupun wawancara dari media tersebut kepada pihak perusahaan.

“Kutipan yang dicantumkan dalam artikel itu tidak pernah saya ucapkan. Tidak ada satu pun pernyataan yang kami berikan, karena memang tidak pernah ada permintaan klarifikasi. Ini sangat kami sayangkan karena berpotensi menyesatkan publik,” ungkapnya.

Ia menilai, pemberitaan tersebut dibingkai seolah-olah PTPN IV Regional V menganggap aksi warga sebagai tindakan kriminal semata, tanpa melihat konteks dan akar permasalahan yang sebenarnya. Padahal, lanjutnya, perusahaan justru mengedepankan pendekatan dialog sebelum mengambil langkah hukum.

“Sejak awal, kami telah beberapa kali melakukan dialog dengan perwakilan kelompok masyarakat. Namun ketika sebagian lahan mulai diduduki, aktivitas ilegal seperti pendirian pondok berlangsung di atas aset negara, kami tidak punya pilihan lain selain melaporkannya kepada pihak berwajib,” sambung Anshari.

“Kami tidak menutup ruang dialog. Tapi kami juga memiliki kewajiban untuk melindungi aset negara yang ada di bawah tanggung jawab kami,” ucapnya.

Terkait tuduhan kriminalisasi, Anshari mengajak semua pihak untuk tidak terjebak pada framing yang menyederhanakan persoalan. Menurutnya, langkah hukum seringkali dituding sebagai alat penggusuran atau penindasan, padahal dalam konteks ini, justru dilakukan untuk menciptakan kepastian hukum.

“Framing hukum tanpa mempertimbangkan akar konflik sering dipandang sebagai cara untuk melegitimasi penggusuran atau kriminalisasi warga. Namun kami meyakini bahwa langkah yang kami tempuh sudah sesuai regulasi dan tetap menghormati nilai-nilai sosial yang berlaku,” pungkasnya.

Sementara itu, di sisi lain kelompok masyarakat yang bersengketa dengan perusahaan menyatakan bahwa mereka telah mengelola lahan tersebut secara turun-temurun. Mereka menolak proses perpanjangan HGU dan menilai bahwa wilayah itu merupakan bagian dari tanah adat. Namun hingga kini, klaim tersebut belum disertai dengan dokumen alas hak formal yang dapat diverifikasi secara hukum.